Featured 1

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 2

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 3

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 4

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 5

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

cari artikel lainnya

Ingin pasang widget seperti ini? KLIK DISINI

Tampilkan postingan dengan label ADAB. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ADAB. Tampilkan semua postingan

Jumat, 25 Maret 2016

KESALAHAN-KESALAHAN KETIKA DI MASJID

KESALAHAN-KESALAHAN KETIKA DI MASJID

KESALAHAN-KESALAHAN KETIKA DI MASJID

Manusia memang banyak melakukan kesalahan, hal ini terjadi karena beberapa faktor, diantaranya ketidaktahuan, lupa atau meremehkan. Namun seorang muslim yang baik siap merubah kebiasan yang salah ketika telah datang padanya ilmu yang bersumber dari Al Qur’an dan hadits yang shahih sebagaimana yang dipahami oleh salafush shalih bahwa perbuatan tersebut adalah salah atau terlarang.
Para pembaca rahimakumullah, pada edisi kali ini kami akan membahas beberapa kebiasaan yang salah ketika berada di dalam masjid yang seharusnya dirubah atau ditinggalkan.

Meninggalkan Shalat Tahiyyatul Masjid

Para pembaca rahimakumullah, masjid merupakan rumah Allah memiliki nilai kehormatan dan kemuliaan yang tinggi dalam Islam. Masjid merupakan salah satu syiar dari agama Islam yang wajib untuk dijaga, diagungkan dan dimuliakan. Allah berfirman (artinya);
Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (al Hajj: 32)
Diantara bentuk pengagungan dan pemuliaan terhadap masjid adalah dengan melakukan shalat tahiyyatul masjid 2 rakaat ketika masuk ke masjid. Namun realita membuktikan, amalan ini masih banyak ditinggalkan oleh sebagian kaum muslimin. Tidak jarang kita melihat para jamaah yang datang dan masuk ke masjid langsung duduk tanpa shalat tahiyyatul masjid terlebih dahulu. Terlepas tentang hukum shalat tahiyyatul masjid itu sendiri apakah wajib atau sunnah, namun sepantasnya bagi seorang muslim untuk benar-benar mengagungkan dan memuliakan syiar-syiar islam, yang ini merupakan tanda ketakwaan hati.
As Syaikh Ibnu Utsaimin dalam sebuah fatwanya ketika memberikan jawaban tentang hukum shalat tahiyyatul Masjid –beliau termasuk yang berpendapat wajib- beliau memberikan sebuah nasehat yang sangat berharga:
“Namun saya nasehatkan kepada kalian bahwa jika ada suatu larangan maka tinggalkanlah dan jangan bertanya apakah larangan tersebut hukumnya haram atau makruh? Demikian pula jika ada suatu perintah maka laksanakanlah dan jangan   bertanya apakah perintah tersebut hukumnya wajib atau sunnah? Adalah dahulu para shahabat jika Rasulullah memerintahkan sesuatu kepada mereka, tidaklah kemudian mereka bertanya “Ya Rasulullah apakah perintah ini wajib atau sunnah? Yang mereka lakukan adalah segera mengamalkannya. Pada hakikatnya seseorang itu perlu dicurigai jika mendengar perintah Allah dan Rasul-Nya kemudian dia menanyakan, ‘ini wajib atau sunnah’? Wahai saudaraku, engkau hanya diperintah untuk mengamalkan! Demikian pula jika mendengar larangan dia menanyakan, ‘ini makruh atau haram’? Engkau hanya diperintah untuk meninggalkan! Ya, jika seseorang mengalami kesulitan (kebingungan) sehingga belum mengamalkan perintah dan belum meninggalkan larangan maka kita perlu bahas apakah ini wajib atau sunnah. Adapun sebelum itu maka nasehatku kepada setiap mukmin jika mendengar perintah Allah dan Rasul-Nya maka hendaknya mengatakan “Kami dengar dan kami taat” lalu mengamalkannya. Demikian pula jika dia mendengar larangan maka hendaknya mengatakan “Kami dengar dan kami taat lalu meninggalkannya dan jangan memaksakan diri.    Merekalah manusia yang paling kuat imannya…” (lihat Liqa al Bab al Maftuh 160/29)

Tidur dengan posisi tengkurap/telungkup

Para pembaca rahimakumullah, saat kita di Masjid kadang mengalami kelelahan lalu membaringkan tubuh untuk menghilangkan kelelahan dan kepenatan. Namun kadang kita dapati sebagian orang yang beristirahat di masjid dengan menelungkupkan badan, sementara syariat ini melarang yang demikian. Perlu diketahui bahwa larangan tidur tengkurap sebenarnya bersifat umum, tidak hanya di masjid. Hanya saja pembahasan kita adalah kegiatan yang sering terjadi di dalam masjid.
Thikhfah bin Qais al Ghifari menceritakan sebuah pengalamannya bersama nabi; “Tatkala aku sedang tidur tengkurap di Masjid karena sakit di dada, tiba-tiba ada seseorang yang menggerakkan diriku dengan kakinya. Orang itu berkata “Sesungguhnya ini adalah cara tidur yang dimurkai Allah.” Kemudian aku lihat orang tersebut yang ternyata adalah Rasulullah.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Juga disebutkan dari hadits Abu Dzarr, ia berkata, “Nabi lewat di hadapanku dan ketika itu aku sedang tidur tengkurap. Beliau lalu menggerak-gerakkanku dengan kaki beliau seraya bersabda, “Wahai Junaidib, posisi tidur seperti ini seperti posisi tidurnya penduduk neraka.” (HR. Ibnu Majah)
Dari 2 hadits ini tampak bagi kita tentang larangan tidur dengan posisi tengkurap karena menyebabkan kemurkaan Alllah bahkan merupakan posisi tidur penduduk Neraka. Maka hendaknya seseorang tidak tidur dengan posisi seperti ini, terlebih lagi jika dilakukan di tempat yang terbuka/umum semisal masjid. Karena jika orang banyak melihat posisi tidur semacam ini, maka tentunya menjadi suatu pemandangan yang kurang baik. Kecuali dalam keadaan darurat yang sulit dihindari sehingga mengharuskan untuk tidur tengkurap, seperti karena sakit. Adapun jika bukan darurat maka sebaiknya ditinggalkan meskipun sudah menjadi kebiasaan. (lihat Syarah Riyadhush Shalihin Ibnu ‘Utsaimin 4/343, fatawa al Lajnah ad Daimah 26/146 dan Fatawa Bin Baz via situs).

Kurang memperhatikan masalah pakaian

Para pembaca rahimakumullah, Allah berfirman (artinya):
Wahai anak Adam kenakanlah zinah (pakaian) kalian setiap kali menuju masjid.” (Al-A’raf: 31)
Para ulama fiqih menjadikan ayat ini sebagai dalil tentang wajibnya menutup aurat ketika shalat. Berdasarkan ayat ini pula  mereka menjelaskan tentang pentingnya berpenampilan yang baik, bersih dan indah ketika ke masjid, tidak sekedar bertujuan untuk menutup aurat. Seseorang  dituntut agar berpenampilan yang demikian itu karena ia akan berdiri di hadapan Allah dan bermunajat kepada-Nya. Hal ini bukan berarti shalatnya tidak sah, akan tetapi yang namanya menutup aurat di dalam shalat tidaklah cukup dengan berpakaian ala kadarnya yang penting menutup aurat lalu tidak peduli dengan kerapian dan keindahannya.
Terkadang kita dapatkan sebagian jamaah kurang perhatian akan hal ini. Berbeda dengan yang dilakukan para ulama terdahulu, begitu perhatiannya mereka dalam permasalahan ini. Bahkan disebutkan ada di antara mereka yang sengaja membeli pakaian dengan harga ‘lumayan’ sekedar untuk dikenakan ketika shalat dengan alasan “Rabb-ku lebih berhak untuk aku berpenampilan indah bagi-Nya ketika aku shalat. ”Subhanallah! Sudahkah kita meniru mereka? (lihat al Mulakhash al fiqhi 1/111 , asy Syarhul Mumti’ 2/149 dan Madarijus salikin 2/363)

Mencari dan mengumumkan barang hilang

Para pembaca rahimakumullah, terkait permasalahan ini, baginda Nabi dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan oleh al Imam Muslim pernah bersabda (artinya);
“Barangsiapa mendengar ada seseorang yang mencari barang hilang di dalam masjid maka katakanlah kepada orang tersebut “لا ردها الله عليك” (semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu) karena sesungguhnya masjid-masjid itu tidak dibangun untuk tujuan ini.” (HR. Muslim: )
Perhatikanlah hadits ini baik-baik! Rasulullah melarang untuk mengumumkan dan mencari barang yang hilang di dalam masjid. Bahkan memerintahkan untuk mendoakan agar barang tersebut benar-benar tidak ditemukan. Hal ini bukan karena benci kepada orang tersebut atau tidak senang jika barangnya ditemukan, namun sebagai peringatan agar tidak menjadi suatu kebiasaan. Semua itu karena masjid bukanlah tempat untuk kepentingan yang demikian, namun sebagai tempat untuk beribadah kepada Allah. Sama saja pengumuman tersebut disiarkan dengan menggunakan suara ataukah dengan menempel pengumuman di dalam masjid, tetap tidak diperbolehkan. Kecuali jika diumumkan di luar masjid maka tidak mengapa. (lihat Fatawa Nur ‘Alad Darb Ibnu Baz 11/339-340 dan Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah 30/89-90)

Membicarakan masalah keduniaan

Para pembaca rahimakumullah, pada dasarnya tidak mengapa berbicara atau berbincang tentang urusan dunia di masjid dengan syarat pembicaraannya ringan, tidak meluas, tidak ribut dan tidak mengganggu orang lain yang sedang beribadah di masjid tersebut. Jika tidak terpenuhi syarat-syarat tersebut maka hukumnya makruh. Hal ini karena masjid dibangun bukan sebagai tempat membicarakan urusan dunia, namun dalam rangka untuk beribadah kepada Allah seperti berdzikir, shalat, membaca al-Qur’an dan ibadah yang lainnya. Demikianlah yang semestinya diperhatikan oleh kita.
Terkadang yang terjadi adalah sikap bermudah-mudahan sebagian jamaah ketika di masjid memperbincangkan masalah keduniaan melebihi batas. Bahkan tidak jarang terdengar pula hal-hal yang ‘berbau’ pelanggaran syariat, seperti ghibah, obrolan-obrolan yang tidak layak bahkan terkadang menjurus ke syahwat, provokasi massa dan yang semisal. (lihat fatawa Nur alad Darb Bin Baz 11/346 dan fatawa al Lajnah ad Daimah 6/280)

Tasybik (Menjalin jari-jemari tangan kanan dengan jari- jemari tangan kiri)
 
Para pembaca rahimakumullah, perbuatan ini tidak jarang pula dilakukan oleh sebagian orang dalam keadaan mereka berada di masjid. Sementara telah datang dalam hadits larangan untuk melakukan tasybik ketika berada di dalam masjid menunggu shalat atau sedang mengerjakan shalat. Rasulullah bersabda (artinya);
“Jika salah seorang diantara kalian sedang berada di Masjid maka janganlah melakukan tasybik karena tasybik dari setan. Sesungguhnya salah seorang dari kalian senantiasa terhitung dalam shalat selama dia berada di Masjid hingga keluar darinya.” (HR. Ahmad)
Bahkan dalam hadits yang lain disebutkan larangan tersebut berlaku pula ketika sedang menuju ke masjid. Rasulullah bersabda (artinya);
“Jika salah seorang dari kalian berwudhu dan membaguskan wudhunya lalu sengaja keluar menuju masjid maka janganlah melakukan tasybik karena dia (terhitung) sedang shalat.” (HR. Abu Daud dan yang lainnya)
Ada 2 sebab larangan tasybik tersebut; karena perbuatan itu dari setan dan karena dia dalam keadaan shalat.

Aroma yang tidak sedap

Para pembaca rahimakumullah, kita pasti merasa terganggu jika mencium bau tidak sedap yang timbul dari orang yang berada di samping kita ketika shalat. Hal ini akhirnya menyebabkan kurang khusyuknya kita dalam shalat tersebut. Tentu yang demikian ini tidak seharusnya terjadi. Rasulullah pernah bersabda (artinya);
“Barangsiapa yang memakan bawang putih atau bawang merah maka menyingkirlah dari kami atau dari masjid kami dan duduklah di rumahnya.” (HR. al Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda (artinya);
“Barangsiapa yang memakan tanaman ini (yakni bawang putih) maka janganlah dia mendekati masjid-masjid kami hingga hilang baunya.” (HR. Muslim)
Meskipun hadits ini berbicara tentang bawang putih dan bawang merah namun para ulama mengambil kesimpulan hukum darinya bahwa segala sesuatu yang menyebabkan bau yang tidak sedap harus dijauhkan dari masjid. Sehingga tidak terbatas pada bawang saja, namun juga yang lainnya yang beraroma tidak nyaman.  Semua yang beraroma busuk, hukumnya sama dengan hukum bawang putih dan bawang merah, seperti bau mulut, bau ketiak, bau badan, bau pakaian dan yang lainnya. Termasuk pula asap rokok. Terlepas dari hukum rokok, suatu hal yang maklum bagi setiap orang bahwa rokok dapat menimbulkan gangguan, baik asapnya dan puntungnya atau abunya. Terlebih lagi jika dilakukan di dalam masjid. Maka yang wajib ialah berusaha semaksimal mungkin untuk menghilangkan segala aroma tidak sedap sebelum berangkat ke masjid sehingga jamaah yang lain tidak terganggu. (lihat Fatawa Nur ‘Ala ad Darb Bin Baz 7/291, Majmu’ Fatawa Bin Baz 6/127 dan 12/84).

Wallahu a’lam bish shawab. Semoga bermanfaat.
Penulis: Ustadz Abdullah Imam

Senin, 16 November 2015

ADAB BERTETANGGA

Adab Bertetangga

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk Jannah orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Muslim no. 73)
Derajat Hadits
Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh al-Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya pada Kitabul Iman bab Penjelasan tentang dilarangnya mengganggu tetangga.
Kedudukan Tetangga
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala, sesungguhnya jeleknya hubungan bertetangga merupakan salah satu tanda dekatnya hari kiamat sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak akan tegak hari kiamat hingga tampak perzinaan, perbuatan-perbuatan keji, pemutusan silaturahmi, dan jeleknya hubungan bertetangga.”(HR. Ahmad, al-Hakim, dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu).
Siapakah yang dimaksud dengan tetangga? Tetangga adalah orang yang terdekat dalam kehidupan, tidaklah seseorang keluar dari rumah melainkan dia melewati rumah tetangganya. Di saat dirinya membutuhkan bantuan baik moril maupun materiil, tetangga lah orang pertama yang dia ketuk pintunya. Bahkan di saat dia meninggal bukan kerabat jauh yang diharapkan mengurus dirinya, tetapi tetangga lah yang dengan tulus bersegera menyelenggarakan pengurusan jenazahnya.
Sehingga dengan begitu mulia dan besar kedudukan tetangga, Allah subhanahu wa ta’ala memasukkannya di dalam 10 hak yang harus dipenuhi oleh seorang hamba sebagaimana firman-Nya subhanahu wa ta’ala (artinya): “Beribadahlah hanya kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (An-Nisa`: 36)
Demikian pula hadits-hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menghasung kita untuk senantiasa memperhatikan hak-hak tetangga, di antaranya sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Jibril senantiasa mewasiatkan kepadaku untuk berbuat baik kepada tetangga sampai aku beranggapan bahwa tetangga akan mewarisi.”(HR. al-Bukhari no. 6014, dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Bahkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan kesempurnaan keimanan seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan hari akhir dengan sikap memuliakan tetangga, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia memuliakan tetangganya.” (HR. al-Bukhari no. 6019, dari sahabat Abu Syuraih radhiyallahu ‘anhu)
Batasan Tetangga
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Yang benar dalam permasalahan ini adalah bahwa tetangga itu semua yang teranggap sebagai tetangga secara adat kebiasaan di suatu tempat atau kondisi terkini, tidak dibatasi dengan jumlah atau batasan tertentu dalam syariat”(Fathu Dzil Jalali Wal Ikram syarh Bulughil Maram)
Makna Hadits
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala, hadits di atas berisi ancaman tidak akan masuk Jannah bagi seorang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguan-gangguannya. Mungkin ada yang bertanya, apa maksud dari “Tidak akan masuk Jannah…” pada hadits di atas? Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa maknanya ada dua:
Yang pertama, bila meyakini halalnya perbuatan mengganggu tetangga dalam kondisi dia mengetahui larangannya, maka pelakunya tidak akan masuk Jannah selama-lamanya.
Yang kedua, tidak akan masuk pada awal kali dibukanya pintu Jannah, bahkan diakhirkan, kemudian dibalas setimpal dengan perbuatannya atau bisa jadi Allah memberikan ampunan baginya sehingga termasuk yang memasuki Jannah secara langsung tanpa disiksa terlebih dahulu. (Syarh Shahih Muslim 2/17)
Sehingga dipahami dari hadits ini bahwa perbuatan mengganggu tetangga masuk dalam kategori dosa besar yang pelakunya berada di bawah kehendak Allah subhanahu wa ta’ala. Kalau Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak maka akan diadzab terlebih dahulu atau jika Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak pula dia bisa diampuni, akan tetapi tidak mengeluarkan dia dari keislaman.
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala. Islam sangat memperhatikan adab dan aturan hidup bertetangga. Tidak ada adab atau aturan hidup bertetangga yang lebih sempurna dari apa yang terdapat dalam agama Islam. Dengan mengikuti adab atau aturan bertetangga ala Islam pasti akan terwujud lingkungan yang tenang, tidak ada gangguan, sejahtera, dan penuh kebahagiaan.
Di antara bentuk pengaturan Islam dalam kehidupan bertetangga adalah hak masing-masing tetangga sesuai dengan kedudukannya, sebagaimana berikut:
1. Tetangga muslim dan sekaligus saudara kerabatnya, maka dia mendapatkan tiga hak, yaitu hak seorang muslim, hak saudara, dan hak tetangga.
2. Tetangga muslim dan tidak mempunyai ikatan kekerabatan, maka dia mempunyai dua hak, yaitu hak muslim dan hak tetangga.
3. Tetangga non muslim, maka dia hanya mendapatkan satu hak, yaitu hak tetangga.
Mengenali Hak-hak Tetangga
Di  antara hak tetangga yang harus diperhatikan adalah:
1. Tidak mengganggunya dengan lisan dan anggota badan. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia mengganggu tetangganya.”(HR. al-Bukhari dan Muslim, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Suatu hari disampaikan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam seorang wanita yang dia sering berpuasa, bersedekah, banyak beribadah, shalat malam dan berbagai kebaikan yang lain, akan tetapi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Dia di neraka,” karena tetangganya tidak selamat dari gangguan lisannya. (HR. Ahmad dalam al-Musnad 2/440, al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 119)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terdapat dalil akan haramnya berbuat zalim kepada tetangga, baik dalam bentuk perkataan atau perbuatan. Di antara kezaliman dalam bentuk perkataan adalah memperdengarkan kepada tetangga suara yang mengganggu, seperti radio, televisi, atau suara lain yang mengganggu. Hal semacam ini sungguh tidak halal, meskipun yang diperdengarkan adalah bacaan Al-Qur`an, (selama itu) mengganggu tetangga berarti dia telah berbuat zalim. Maka tidak halal baginya untuk melakukannya. Adapun (kezaliman dalam bentuk) perbuatan, seperti membuang sampah di sekitar pintu tetangga, mempersempit pintu masuknya, atau perbuatan semisalnya yang merugikan tetangga. Termasuk dalam hal ini, jika seseorang memiliki pohon kurma atau pohon lain di sekitar tembok tetangga ketika dia menyirami, (airnya berlebih hingga) melampaui tetangganya. Ini pun sesungguhnya termasuk kezaliman yang tidak halal baginya.” (Syarh Riyadhis Shalihin, 2/178)
2. Mudah dalam memberikan bantuan, menziarahinya, menjenguknya di kala sakit, dan berbagai bentuk kebaikan walaupun hanya sekedar menampakkan wajah yang berseri-seri kepadanya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah engkau meremehkan sedikit pun dari kebaikan, walaupun sekedar menampakkan wajah yang berseri-seri ketika bertemu saudaramu.”(HR. Muslim no. 2626, dari sahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu)
3. Memberikan hadiah, karena hal ini dapat menumbuhkan kecintaan. Rasulullah n bersabda:
“Saling menghadiahilah kalian niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 594, dihasankan oleh al-Imam al-Albani rahimahullah dalam Irwa`ul Ghalil no. 1601, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Dalam riwayat yang lain Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai wanita-wanita muslimah, jangan sekali-kali seorang tetangga menganggap remeh untuk memberikan hadiah kepada tetangganya walaupun hanya sepotong kaki kambing.” (HR. al-Bukhari no. 2566 dan Muslim no. 2376, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah menyatakan bahwa hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas memberikan isyarat ditekankannya memberikan hadiah walaupun dengan sesuatu yang sedikit/kecil, dan ditekankannya menerima pemberian/hadiah walaupun sedikit/tidak berarti. (Fathul Bari 5/244, 245)
Hadiah dapat memberikan pengaruh secara maknawi, bukan materi semata. Sungguh yang namanya hadiah walaupun kecil/sedikit akan dapat menumbuhkan cinta dan menghilangkan kedengkian.
Penutup
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala, menjalani kehidupan bertetangga dengan baik dan saling menunaikan hak masing-masing merupakan suatu kebahagiaan dan tanda kebaikan sebuah masyarakat. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada empat perkara yang termasuk dari kebahagiaan: istri yang shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang shalih dan tunggangan (kendaraan) yang nyaman. Dan ada empat perkara yang termasuk dari kesengsaraan; tetangga yang jelek, istri yang jahat (tidak shalihah), tunggangan yang jelek, dan tempat tinggal yang sempit.” (HR. Ibnu Hibban, hadits ini dishahihkan asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitab beliau ash-Shahihul Musnad Mimma Laysa fish- Shahihain 1/277)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Sebaik-baik sahabat di sisi Allah adalah mereka yang terbaik kepada sahabatnya, dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah yang terbaik kepada tetangganya.”(HR. at-Tirmidzi, Ahmad dan ad-Darimi, dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma)
Demikianlah kajian tentang adab bertetangga, semoga bermanfaat bagi kita semua.
Amin ya Rabbal ‘alamin.
Penulis: Al-Ustadz Abu Ahmad Kediri hafizhahullah

ADAB BERSIN

Bersin Itu Nikmat
        Para pembaca rahimakumullah, salah satu bentuk nikmat yang banyak dari kita tidak menyadari, terlebih menyebut dan mengingatnya adalah bersin. Dalam sebuah hadits baginda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah mencintai bersin dan membenci menguap. Jika salah seorang dari kalian bersin lalu memuji Allah (dengan mengucapkan alhamdulillah), maka wajib bagi setiap muslim yang mendengarnya untuk mendoakannya.” (HR. al-Bukhari dari sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu)
Demikianlah, bersin merupakan nikmat dari-Nya yang wajib bagi kita untuk mensyukurinya. Bersin merupakan suatu keadaan yang menunjukkan semangat dan ringannya badan, sehingga kita dapati seseorang yang bersin merasakan tubuhnya segar dan ringan serta tumbuh semangat untuk beribadah. Inilah sebab mengapa Allah mencintai bersin dan inilah pula yang menunjukkan bahwa bersin merupakan nikmat yang memang pantas untuk disyukuri. Oleh karenanya, disebutkan dalam hadits di atas bahwa bagi orang yang bersin hendaknya bersyukur dengan cara menghaturkan pujian kepada Dzat yang memberinya (Allah). Namun tentu bersin yang dimaksud bukan bersin karena sakit pilek dan semisalnya. (Lihat Fathul Bari)
Para pembaca rahimakumullah, Islam telah menganjurkan kepada pemeluknya segala hal yang bisa mendatangkan kebaikan dan memperingatkan dari segala hal yang bisa mendatangkan kejelekan. Termasuk dalam hal bersin, syariat ini telah membimbing kita dengan beberapa adab yang sangat bermanfaat bagi diri orang yang bersin ataupun orang lain. Oleh karena itu, pada edisi kali ini kami akan membahas tentang adab-adab tersebut dengan harapan ketika kita bersin mempunyai nilai lebih di sisi Allah subhaanahu wa ta’aalaa.

Adab dalam Bersin
Para pembaca rahimakumullah, dalam permasalahan ini akan dijelaskan tentang 2 hal; adab bagi orang yang bersin dan adab bagi orang yang mendengar orang lain bersin.
1. Adab bagi orang yang bersin
Di antara adabnya adalah;
a. Hendaknya memuji Allah setelah bersin dengan mengucapkan, “Alhamdulillah”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلِ الْحَمْدُ لِلهِ
“Jika salah seorang dari kalian bersin maka ucapkanlah اَلْحَمْدُ لِلهِ (segala puji bagi Allah).” (HR. al Bukhari)
Adapun bagi orang yang bersendawa maka tidak disyariatkan untuk mengucapkan Alhamdulillah karena tidak ada bimbingan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam perihal mengucapkan hamdalah ketika bersendawa. (Lihat Fathu Dzil Jalali wal Ikram)
Jumhur ulama berpendapat bahwa pengucapan hamdalah ketika bersin hukumnya sunnah, bahkan Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar menyebutkan para ulama telah bersepakat bahwa hukumnya mustahab. (Lihat Fathu Dzil Jalali wal Ikramal-AdzkarFathul Bari, dan ‘Aunul Ma’bud)
b. Menutup mulut dengan telapak tangan atau yang lainnya semisal sapu tangan. Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bercerita, “Dahulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika bersin meletakkan tangan atau pakaian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada mulut dan merendahkan suara bersinnya.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Disebutkan oleh para ulama hikmah dari adab yang kedua ini;
- Mencegah tersebarnya penyakit yang keluar bersamaan dengan bersinnya seseorang.
- Mencegah terjadinya hal-hal yang mengurangi kenyamanan orang lain yang melihatnya karena terkadang keluar sesuatu yang kotor ketika bersin.
Namun yang perlu kita perhatikan pula jangan sampai seseorang ketika bersin menutup rapat hidungnya sehingga menyebabkan terhalangnya udara untuk keluar. Maka bukan seperti ini yang dimaksud, karena yang demikian bisa menimbulkan mudharat (efek negatif) bagi orang tersebut. (Lihat Syarah Riyadhus Shalihin ibn Utsaimin)
c. Merendahkan suara bersinnya, sebagaimana tersebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu di atas.
2. Adab bagi yang mendengar orang lain bersin
Di antara adabnya adalah;
a. Hendaknya dia mendoakan dengan mengucapkan يَرْحَمُكَ اللهُ . Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلِ الْحَمْدُ لِلهِ . وَلْيَقُلْ لَهُ أَخُوهُ أَوْ صَاحِبُهُ يَرْحَمُكَ اللهُ . فَإِذَا قَالَ لَهُ يَرْحَمُكَ اللهُ . فَلْيَقُلْ يَهْدِيكُمُ اللهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ
“Jika salah seorang di antara kalian bersin maka ucapkanlah الْحَمْدُ لِلهِ dan temannya yang mendengar hendaknya mendoakan dengan mengucapkan يَرْحَمُكَ اللهُ (semoga Allah merahmatimu). Jika temannya mengucapkan doa tersebut maka hendaknya dia mendoakannya dengan mengucapkan يَهْدِيْكُمُ اللهُ وَ يُصْلِحُ بَالَكُمْ (semoga Allah memberimu petunjuk dan memperbaiki keadaanmu).” (HR. al-Bukhari)
Dari hadits di atas, dapat kita simpulkan bahwa bagi orang yang bersin namun tidak mengucapkan Alhamdulillah, maka tidak ada keharusan bagi orang yang mendengar untuk mendoakannya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu dia berkata, “Ada 2 orang yang bersin di hadapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian mendoakan salah satu dari mereka namun tidak mendoakan yang lainnya. Kemudian orang yang tidak didoakan bertanya kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Si fulan bersin lalu engkau mendoakannya sementara aku bersin engkau tidak mendoakanku?” Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Orang ini memuji Allah (mengucapkan hamdalah) sementara engkau tidak memuji Allah.”
Dari hadits di atas dapat disimpulkan pula bahwa ketika orang yang bersin didoakan dengan يَرْحَمُكَ اللهُ (semoga Allah merahmatimu), maka hendaknya membalas dengan mengucapkan doa:
يَهْدِيْكُمُ اللهُ وَ يُصْلِحُ بَالَكُمْ
“Semoga Allah memberimu petunjuk dan memperbaiki keadaanmu.”
Di samping tidak adanya keharusan untuk mendoakan orang yang bersin karena tidak mengucapkan hamdalah, ada pula keadaan yang juga tidak perlu untuk mengucapkan doa tersebut. Seperti ketika ada seseorang bersin sampai 3 kali secara berturut–turut, karena yang demikian ini menunjukkan bahwa dia sedang menderita pilek.
Berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
شَمِّتْ أَخَاكَ ثَلَاثًا فَمَا زَادَ فَهُوَ زُكَّامٌ
“Doakan saudaramu(yang bersin dan mengucapkan hamdalah) sebanyak 3 kali. Adapun selebihnya maka itu adalah sakit pilek.” (HR. Abu Dawud dari sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu)
Maka jika kondisinya seperti ini hendaknya kita mendoakan kesembuhan bagi orang tersebut.
Demikian pula ketika sedang berlangsungnya khutbah Jumat, maka tidak boleh bagi seseorang untuk mengucapkan doa bagi orang yang bersin karena yang demikian termasuk dalam larangan berbicara ketika khutbah sedang berlangsung. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika engkau berkata kepada temanmu pada hari jumat ‘Diam’ sementara khotib sedang berkhutbah maka sungguh engkau telah berbuat sia-sia.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Ketika khutbah sedang berlangsung, hendaknya orang yang bersin mengucapkan hamdalah dengan suara yang lirih, cukup dirinya sendiri yang mendengarnya. (Lihat Fatwa Lajnah DaimahFatawa ibn BazFatawa ibn Utsaimin)
b. Hendaknya mengeraskan suara dengan wajar ketika mengucapkan doa bagi orang yang bersin agar bisa didengar oleh orang tersebut sehingga dia bisa membalas doa tersebut. Demikian pula bagi orang yang bersin agar mengeraskan suara ketika mengucapkan hamdalah agar orang yang mendengar bisa mendoakannya. (Lihat Syarah Riyadhus Shalihin ibn Utsaimin)
c. Jika ada orang yang bersin namun tidak mengucapkan hamdalah karena tidak tahu hukumnya, maka tidak mengapa bagi kita untuk mengajarinya agar mengucapkan hamdalah lalu kita pun mendoakannya. (Lihat Fathu Dzil Jalali wal Ikram)

Bersin Ketika Sedang Melaksanakan Shalat
Para pembaca rahimakumullah, diperbolehkan bagi yang bersin ketika shalat untuk mengucapkan hamdalah. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim dan yang lainnya. Sebuah kisah dari sahabat Mu’awiyah bin al-Hakam as-Sulami, dia pernah menuturkan kisahnya bersama Nabi, “Ketika aku sedang melaksanakan shalat bersama nabi, aku mendengar ada seseorang yang bersin maka aku mengucapkan doa baginya يَرْحَمُكَ اللهُ. Orang-orang yang ikut melaksanakan shalat waktu itu tiba-tiba memandang kepadaku dengan tajam. Aku berkata, “Ibuku kehilangan diriku, ada apa dengan kalian? Mereka kemudian memukulkan tangan ke paha mereka (memberi isyarat agar aku diam), maka aku pun diam. Tatkala Rasulullah telah menyelesaikan shalat, ayah dan ibuku sebagai tebusanku, belum pernah sama sekali aku melihat ada seorang guru yang mengajarkan ilmu lebih baik dari beliau. Demi Allah, beliau tidak membentakku, tidak memukulku dan tidak mencelaku. Beliau bersabda, “Sesungguhnya shalat ini tidak pantas diucapakan di dalamnya sesuatu dari ucapan manusia. Hanyalah shalat itu berisi tasbih, takbir dan bacaan Al-Qur`an.” HR. Muslim dan Abu Dawud.
Dalam hadits ini tidak disebutkan adanya pengingkaran dari nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang bersin yang mengucapkan hamdalah ketika sedang melaksanakan shalat. Tentunya, sahabat Mu’awiyah tidaklah mengucapkan doa tersebut kecuali setelah mendengar ada seseorang yang bersin kemudian mengucapkan hamdalah dalam shalat tersebut. Namun yang perlu diperhatikan hendaknya bagi yang bersin tersebut untuk merendahkan suara/pelan-pelan ketika mengucapkan hamdalah, cukup dirinya sendiri yang mendengar. (Lihat Fatawa ibn UtsaiminSyarah Shahih MuslimFathul Bari). Dari hadits ini pula, kita bisa memetik pelajaran
- Bagi orang yang bersin di dalam shalat boleh mengucapkan hamdalah.
- Bagi yang mendengar tidak boleh mendoakannya.
- Bagi orang yang bersin dan mengucapkan hamdalah ketika di dalam shalat lalu ternyata ada yang mendoakannya, maka tidak boleh baginya untuk membalas dengan mendoakan orang tersebut. (Lihat Ma’alimus Sunan al-Khattabi)
Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis: Ustadz Abdullah Imam hafizhahullaahu ta’aalaa

ADAB MEMAKAI SANDAL

Adab Memakai Sandal  


          Para pembaca rahimakumullah.RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita seluruh perkara dalam kehidupan di dunia ini. Termasuk perkara yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya adalah tata cara dan adab-adab mengenakan sandal. Hal ini menunjukkan kepada kita akan kesempurnaan syariat Islam yang dibawa oleh Nabi kita yang mulia. Kita masih ingat dialog antara shahabat yang mulia Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu dengan seseorang dari kalangan musyrikin? Sebuah peristiwa yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Abu Daud dan Ibnu Majah dalam kitab Shahih dan Sunan mereka tentang pertanyaan yang dilontarkan orang musyrik tersebut kepada Salman. Dengan nada mengejek orang musyrik itu berkata: “Sungguh, aku lihat sahabat kalian ini (yakni baginda RasulShallallahu ‘alaihi wa sallam) mengajarkan segala sesuatu kepada kalian sampai urusan buang air besar?” Salman mengatakan:”Iya, benar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami agar tidak menghadap kiblat atau membelakanginya ketika buang air besar, dan agar kami jangan beristinja` (cebok) dengan tangan kanan, serta agar kami tidak beristinja’ kurang dari tiga buah batu dan agar tidak menggunakan tulang dan kotoran hewan yang kering.”
          Memakai sandal adalah suatu kebiasaan sehari-hari yang perlu bagi kita kaum muslimin untuk mengetahui adab-adabnya. Sebagaimana diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa haditsnya yang shahih tentang beberapa adab dan tata cara memakai sandal, mulai ketika hendak memakainya hingga ketika akan melepasnya.
          Di antara adab-adab memakai sandal tersebut adalah:
1. Memakai sandal yang bagus, rapi dan bersih.
          Islam telah menghasung penganutnya untuk bersandal dengan yang bagus dan rapi. Tentunya berpenampilan bagus, rapi dan bersih tidak menuntut harus baru dan tidak pula menunjukkan sifat sombong bagi pelakunya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat seberat atom dari kesombongan.” Para sahabat bertanya: “Bagaimana dengan seseorang yang senang jika pakaian dan sandalnya bagus (apakah termasuk sikap sombong)?” Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah itu indah dan suka keindahan. Sombong itu adalah sikap menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)
          Bahkan memakai sandal yang bagus dan bersih tanpa berlebihan menjadi suatu hal terpuji jika diniatkan untuk mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menampakkan nikmat yang ada pada dirinya karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala senang melihat wujud nikmatNya yang Dia berikan kepada hambaNya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah senang melihat bekas/wujud nikmatNya yang ada pada hambaNya.” (HR. at-Tirmidzi)
          Yang tercela adalah jika meniatkan ketika memakai sandal yang bagus, rapi, dan bersih hanya untuk berbangga diri, untuk kemasyhuran atau meremehkan orang lain. Baginda NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
“Sungguh seseorang merasa bangga dan takjub dengan dirinya sendiri jika tali sandalnya lebih bagus ketimbang tali sandal temannya.” (HR. at-Thabari) (Lihat Fathul Bari)
2. Membaca Doa ketika Memakai Sandal Baru.
          Para pembaca rahimakumullah, suatu hal yang tidak kita ragukan lagi bahwa nikmat dan pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita sangatlah banyak. Termasuk sandal yang kita pakai adalah merupakan pemberian dariNya. Ini semua menjadi salah satu sebab wajibnya kita untuk bersyukur kepada Allah ar-Razzaq (Mahapemberi rezeki ).
          Al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam Riyadhush Shalihin menyebutkan salah satu bab “Doa yang diucapkan ketika mengenakan baju baru, sandal baru, dan yang semisalnya”lalu beliau membawakan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan at-Tirmidzi dari shahabat mulia Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika memakai baju baru atau yang lainnya beliau mengucapkan:
اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ كَسَوْتَنِيهِ أَسْأَلُكَ مِنْ خَيرِهِ وَخَيْرِمَاصُنِعَ لَهُ وَأَعُوذُبِكَ مِنْ شَرِّهِ وَشَرِّمَاصُنِعَ لَهُ
“Ya Allah hanya untukmu segala pujian. Engkau telah memakaikannya (sebutkan nama barangnya, misalnya baju ini) kepadaku. Aku memohon kepadaMu kebaikannya dan kebaikan yang dibuat untuknya dan aku berlindung kepadaMu dari kejelekannya dan kejelekan yang dibuat untuknya.” (Lihat Syarah Riyadhush Shalihin Ibnu Utsaimin rahimahullah dan Tuhfaul ahwadzi)
3. Mendahulukan yang Kanan ketika Memakai dan Mendahulukan yang Kiri ketika Melepas.
          Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:
“Jika salah seorang di antara kalian memakai sandal maka mulailah dari yang kanan dan jika melepas maka mulailah dari yang kiri. Jadikanlah kaki kanan terlebih dahulu memakai sandal dan yang terakhir melepasnya.” (HR. MuslimAbu Daud dan yang lainnya)
          Para pembaca rahimakumullah, disebutkan oleh para ulama hikmah dari hadits ini bahwa secara asal segala sesuatu itu dimulai dari yang kanan kecuali pada hal-hal yang terdapat padanya sifat kurang/jelek maka didahulukan yang kiri. Didahulukan yang kanan sebagai bentuk penghormatan baginya dalam memakai sandal dan diakhirkan ketika melepas sebagai bentuk penghormatan pula baginya dalam hal masa/waktu penggunaan ketimbang yang kiri. Realita yang ada dalam kehidupan kita pun membuktikan bahwa secara mayoritas bagian kanan lebih kuat dari yang kiri sehingga yang demikian ini menunjukkan kepada kita keserasian antara syariat dengan yang terjadi di lapangan. Allah Subhanahu wa Ta’alamenjadikan lebih utama bagian kanan secara realita dan juga menjadikannya lebih mulia secara hukum agama.
          Namun terlepas dari hikmah yang disebutkan oleh para ulama tersebut, yang terpenting bagi kita adalah mencari barokah dengan mengikuti dan mencontoh segala hal yang diajarkan dan diperintahkan oleh Nabi kita.
          Lalu apa hukum mendahulukan yang kanan dalam permasalahan ini? Baginda NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan hadits ini dalam bentuk perintah “maka mulailah dari yang kanan” sementara hukum asal dari setiap perintah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bersifat wajib. Namun para ulama menyatakan bahwa perintah yang dimaksud dalam hadits ini hanya bersifat mustahab (sunnah), tidak sampai pada hukum wajib. Bahkan sebagian ulama seperti al-Qadhi ‘Iyadh, an-Nawawi dan al-Qurthubi menyatakan bahwa para ulama telah sepakat (berijma’) tentang sunnahnya amalan ini. (Lihat Fathu Dzil Jalali Ibnu Utsaimin, al-Istidzkar dan Tharhu at-Tatsrib).
4. Mnyempurnakan yang Kanan Terlebih Dahulu Sebelum Memakai yang Kiri.
          Dalil tentang permasalahan ini adalah hadits yang telah disebutkan pada point ketiga, yaitu tepatnya pada lafazh, “Jadikanlah kaki kanan terlebih dahulu memakai sandal dan yang terakhir melepasnya.” Maknanya janganlah anda memakai yang kiri sampai yang kanan telah dipakainya dengan sempurna. (Lihat Fathu Dzil Jalali Ibnu Utsaimin rahimahullah)
5. Jangan Berjalan dengan Memakai Sandal Sebelah.
          Yang demikian ini telah diingatkan oleh baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
“Janganlah salah seorang di antara kalian berjalan dengan memakai sandal sebelah. Pakailah keduanya atau (jika tidak) lepaslah keduanya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
          Hadits ini menyebutkan tentang larangan memakai sandal sebelah. Dari sini kita bisa memahami bahwa larangan ini bersifat mutlak, artinya tidak boleh memakai sandal sebelah meskipun jangka waktunya pendek/sebentar. Misalnya, jika kita hendak memakai sandal ketika keluar rumah, ternyata kita dapati sandal yang sebelah kiri agak jauh jaraknya dari yang kanan. Keadaan demikian bukan berarti kita boleh memakai yang kanan terlebih dahulu lalu berjalan 2/3 langkah untuk mengambil yang kiri. Namun yang seharusnya kita lakukan adalah mengambil dan mendekatkan sandal yang kiri kemudian kita pakai yang kanan terlebih dahulu lalu yang kiri tanpa ada jeda waktu di antara keduanya. (lihat Fathu Dzil Jalali Ibnu utsaimin dan syarah Riyadhush Shalihin Ibnu Utsaimin rahimahullah)
          Para pembaca rahimakumullah, para ulama menyebutkan hikmah dari larangan hadits ini. Ada yang menyatakan bahwa hikmah larangan ini adalah kembali kepada fungsi penggunaan sandal itu sendiri yaitu untuk melindungi kaki. jika seseorang hanya mengenakan sebelah sandal saja maka ada salah satu dari kakinya yang tidak terlindungi sehingga yang demikian keluar dari fungsi asalnya dan menimbulkan bahaya. Sebagian yang lain menyatakan bahwa hikmah larangan ini adalah penyeimbangan anggota tubuh. Seseorang yang hanya mengenakan sebelah sandal maka pada hakikatnya dia tidak berbuat adil atau tidak menyeimbangkan anggota tubuhnya bahkan pelakunya bisa dinyatakan lemah akalnya. Yang lain menyatakan bahwa perbuatan seperti ini merupakan perbuatan dalam rangka mencari ketenaran(syuhrah) dan agar orang lain memperhatikan dirinya sementara yang demikian ini dilarang dalam Islam. Ulama yang lain menyatakan bahwa mengenakan sebelah sandal ketika berjalan adalah cara dan gayanya setan ketika berjalan. Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan ath-Thahawi rahimahullah dari shahabat mulia Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Setan ini berjalan dengan memakai sandal sebelah saja.” (Lihat Fathul Barikarya Ibnu Hajar rahimahullah dan al-Silsilah ash-Shahihah no. 348)
          Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah dalam kitab beliau Subulus Salam menyatakan bahwa larangan dalam hadits ini bersifat makruh bahkan beliau menegaskan bahwa pendapat ini adalah pendapatnya jumhur ulama. Al-Imam an-Nawawi rahimahullah termasuk di antara ulama yang menilai larangan ini bersifat makruh, sebagaimana pernyataan beliau dalam syarah shahih muslim. Hal ini dikarenakan ada hadits lain yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memakai sandal sebelah, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari shahabiyyah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa tali sandal Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terputus sehingga beliau berjalan hanya dengan menggunakan sandal sebelah sampai beliau memperbaikinya.
          Namun larangan ini diperkecualikan jika dalam keadaan-keadaan yang darurat atau adanya udzur syar’i, misalkan jika terdapat luka pada salah satu kaki sehingga tidak memungkinkan untuk mengenakan sandal maka tidak mengapa hanya mengenakan sebelah sandal. (Lihat Fathu Dzil Jalali Ibnu Utsaimin dan Syarah Shahih Muslim)
Bolehkah Berjalan Tanpa Alas Kaki?
          Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan bahwa memakai sandal termasuk bagian dari sunnah demikian pula tidak memakai sandal (tidak beralas kaki) juga bagian dari sunnah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Perbanyaklah memakai sandal karena sesungguhnya senantiasa berkendara selama dia memakai sandalnya.” (HR. Muslim)
          Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Fadhalah bin ‘Ubaid beliau menyatakan:
“Dahulu Nabi memerintahkan kami untuk sesekali tidak mengenakan alas kaki.”
          Tentunya amalan yang satu ini perlu pula melihat kondisi dan situasi. Jika memang tidak ada mudharat maka yang utama adalah terkadang mengenakan sandal dan terkadang melepasnya. Jika di sana ada mudharat, misalkan terdapat duri-duri di jalan yang akan dilalui maka yang utama adalah mengenakan sandal dan tidak melepasnya. (lihat Syarah Riyadhush Shalihin dan Fathu Dzil Jalali Ibnu Utsaimin).
          Para pembaca rahimakumullah, demikianlah beberapa adab ketika mengenakan sandal yang diajarkan oleh agama kita yang mulia. Kita berharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaagar Dia memberikan kemudahan kepada kita semua untuk dapat mengamalkan apa yang telah kita baca dan pelajari bersama, amiin ya mujibassailinAllahu a’lam bish shawab, semoga bermanfaat.
Penulis: Ustadz Abdullah Imam hafizhahullah

PILIHAN-PILIHAN