Adab Memakai Sandal
Para pembaca rahimakumullah.RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita seluruh perkara dalam kehidupan di dunia ini. Termasuk perkara yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya adalah tata cara dan adab-adab mengenakan sandal. Hal ini menunjukkan kepada kita akan kesempurnaan syariat Islam yang dibawa oleh Nabi kita yang mulia. Kita masih ingat dialog antara shahabat yang mulia Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu dengan seseorang dari kalangan musyrikin? Sebuah peristiwa yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Abu Daud dan Ibnu Majah dalam kitab Shahih dan Sunan mereka tentang pertanyaan yang dilontarkan orang musyrik tersebut kepada Salman. Dengan nada mengejek orang musyrik itu berkata: “Sungguh, aku lihat sahabat kalian ini (yakni baginda RasulShallallahu ‘alaihi wa sallam) mengajarkan segala sesuatu kepada kalian sampai urusan buang air besar?” Salman mengatakan:”Iya, benar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami agar tidak menghadap kiblat atau membelakanginya ketika buang air besar, dan agar kami jangan beristinja` (cebok) dengan tangan kanan, serta agar kami tidak beristinja’ kurang dari tiga buah batu dan agar tidak menggunakan tulang dan kotoran hewan yang kering.”
Memakai sandal adalah suatu kebiasaan sehari-hari yang perlu bagi kita kaum muslimin untuk mengetahui adab-adabnya. Sebagaimana diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa haditsnya yang shahih tentang beberapa adab dan tata cara memakai sandal, mulai ketika hendak memakainya hingga ketika akan melepasnya.
Di antara adab-adab memakai sandal tersebut adalah:
1. Memakai sandal yang bagus, rapi dan bersih.
Islam telah menghasung penganutnya untuk bersandal dengan yang bagus dan rapi. Tentunya berpenampilan bagus, rapi dan bersih tidak menuntut harus baru dan tidak pula menunjukkan sifat sombong bagi pelakunya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat seberat atom dari kesombongan.” Para sahabat bertanya: “Bagaimana dengan seseorang yang senang jika pakaian dan sandalnya bagus (apakah termasuk sikap sombong)?” Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah itu indah dan suka keindahan. Sombong itu adalah sikap menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)
Bahkan memakai sandal yang bagus dan bersih tanpa berlebihan menjadi suatu hal terpuji jika diniatkan untuk mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menampakkan nikmat yang ada pada dirinya karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala senang melihat wujud nikmatNya yang Dia berikan kepada hambaNya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah senang melihat bekas/wujud nikmatNya yang ada pada hambaNya.” (HR. at-Tirmidzi)
Yang tercela adalah jika meniatkan ketika memakai sandal yang bagus, rapi, dan bersih hanya untuk berbangga diri, untuk kemasyhuran atau meremehkan orang lain. Baginda NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
“Sungguh seseorang merasa bangga dan takjub dengan dirinya sendiri jika tali sandalnya lebih bagus ketimbang tali sandal temannya.” (HR. at-Thabari) (Lihat Fathul Bari)
2. Membaca Doa ketika Memakai Sandal Baru.
Para pembaca rahimakumullah, suatu hal yang tidak kita ragukan lagi bahwa nikmat dan pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita sangatlah banyak. Termasuk sandal yang kita pakai adalah merupakan pemberian dariNya. Ini semua menjadi salah satu sebab wajibnya kita untuk bersyukur kepada Allah ar-Razzaq (Mahapemberi rezeki ).
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam Riyadhush Shalihin menyebutkan salah satu bab “Doa yang diucapkan ketika mengenakan baju baru, sandal baru, dan yang semisalnya”lalu beliau membawakan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan at-Tirmidzi dari shahabat mulia Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika memakai baju baru atau yang lainnya beliau mengucapkan:
اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ كَسَوْتَنِيهِ أَسْأَلُكَ مِنْ خَيرِهِ وَخَيْرِمَاصُنِعَ لَهُ وَأَعُوذُبِكَ مِنْ شَرِّهِ وَشَرِّمَاصُنِعَ لَهُ
“Ya Allah hanya untukmu segala pujian. Engkau telah memakaikannya (sebutkan nama barangnya, misalnya baju ini) kepadaku. Aku memohon kepadaMu kebaikannya dan kebaikan yang dibuat untuknya dan aku berlindung kepadaMu dari kejelekannya dan kejelekan yang dibuat untuknya.” (Lihat Syarah Riyadhush Shalihin Ibnu Utsaimin rahimahullah dan Tuhfaul ahwadzi)
3. Mendahulukan yang Kanan ketika Memakai dan Mendahulukan yang Kiri ketika Melepas.
Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika salah seorang di antara kalian memakai sandal maka mulailah dari yang kanan dan jika melepas maka mulailah dari yang kiri. Jadikanlah kaki kanan terlebih dahulu memakai sandal dan yang terakhir melepasnya.” (HR. Muslim, Abu Daud dan yang lainnya)
Para pembaca rahimakumullah, disebutkan oleh para ulama hikmah dari hadits ini bahwa secara asal segala sesuatu itu dimulai dari yang kanan kecuali pada hal-hal yang terdapat padanya sifat kurang/jelek maka didahulukan yang kiri. Didahulukan yang kanan sebagai bentuk penghormatan baginya dalam memakai sandal dan diakhirkan ketika melepas sebagai bentuk penghormatan pula baginya dalam hal masa/waktu penggunaan ketimbang yang kiri. Realita yang ada dalam kehidupan kita pun membuktikan bahwa secara mayoritas bagian kanan lebih kuat dari yang kiri sehingga yang demikian ini menunjukkan kepada kita keserasian antara syariat dengan yang terjadi di lapangan. Allah Subhanahu wa Ta’alamenjadikan lebih utama bagian kanan secara realita dan juga menjadikannya lebih mulia secara hukum agama.
Namun terlepas dari hikmah yang disebutkan oleh para ulama tersebut, yang terpenting bagi kita adalah mencari barokah dengan mengikuti dan mencontoh segala hal yang diajarkan dan diperintahkan oleh Nabi kita.
Lalu apa hukum mendahulukan yang kanan dalam permasalahan ini? Baginda NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan hadits ini dalam bentuk perintah “maka mulailah dari yang kanan” sementara hukum asal dari setiap perintah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bersifat wajib. Namun para ulama menyatakan bahwa perintah yang dimaksud dalam hadits ini hanya bersifat mustahab (sunnah), tidak sampai pada hukum wajib. Bahkan sebagian ulama seperti al-Qadhi ‘Iyadh, an-Nawawi dan al-Qurthubi menyatakan bahwa para ulama telah sepakat (berijma’) tentang sunnahnya amalan ini. (Lihat Fathu Dzil Jalali Ibnu Utsaimin, al-Istidzkar dan Tharhu at-Tatsrib).
4. Mnyempurnakan yang Kanan Terlebih Dahulu Sebelum Memakai yang Kiri.
Dalil tentang permasalahan ini adalah hadits yang telah disebutkan pada point ketiga, yaitu tepatnya pada lafazh, “Jadikanlah kaki kanan terlebih dahulu memakai sandal dan yang terakhir melepasnya.” Maknanya janganlah anda memakai yang kiri sampai yang kanan telah dipakainya dengan sempurna. (Lihat Fathu Dzil Jalali Ibnu Utsaimin rahimahullah)
5. Jangan Berjalan dengan Memakai Sandal Sebelah.
Yang demikian ini telah diingatkan oleh baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
“Janganlah salah seorang di antara kalian berjalan dengan memakai sandal sebelah. Pakailah keduanya atau (jika tidak) lepaslah keduanya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menyebutkan tentang larangan memakai sandal sebelah. Dari sini kita bisa memahami bahwa larangan ini bersifat mutlak, artinya tidak boleh memakai sandal sebelah meskipun jangka waktunya pendek/sebentar. Misalnya, jika kita hendak memakai sandal ketika keluar rumah, ternyata kita dapati sandal yang sebelah kiri agak jauh jaraknya dari yang kanan. Keadaan demikian bukan berarti kita boleh memakai yang kanan terlebih dahulu lalu berjalan 2/3 langkah untuk mengambil yang kiri. Namun yang seharusnya kita lakukan adalah mengambil dan mendekatkan sandal yang kiri kemudian kita pakai yang kanan terlebih dahulu lalu yang kiri tanpa ada jeda waktu di antara keduanya. (lihat Fathu Dzil Jalali Ibnu utsaimin dan syarah Riyadhush Shalihin Ibnu Utsaimin rahimahullah)
Para pembaca rahimakumullah, para ulama menyebutkan hikmah dari larangan hadits ini. Ada yang menyatakan bahwa hikmah larangan ini adalah kembali kepada fungsi penggunaan sandal itu sendiri yaitu untuk melindungi kaki. jika seseorang hanya mengenakan sebelah sandal saja maka ada salah satu dari kakinya yang tidak terlindungi sehingga yang demikian keluar dari fungsi asalnya dan menimbulkan bahaya. Sebagian yang lain menyatakan bahwa hikmah larangan ini adalah penyeimbangan anggota tubuh. Seseorang yang hanya mengenakan sebelah sandal maka pada hakikatnya dia tidak berbuat adil atau tidak menyeimbangkan anggota tubuhnya bahkan pelakunya bisa dinyatakan lemah akalnya. Yang lain menyatakan bahwa perbuatan seperti ini merupakan perbuatan dalam rangka mencari ketenaran(syuhrah) dan agar orang lain memperhatikan dirinya sementara yang demikian ini dilarang dalam Islam. Ulama yang lain menyatakan bahwa mengenakan sebelah sandal ketika berjalan adalah cara dan gayanya setan ketika berjalan. Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan ath-Thahawi rahimahullah dari shahabat mulia Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Setan ini berjalan dengan memakai sandal sebelah saja.” (Lihat Fathul Barikarya Ibnu Hajar rahimahullah dan al-Silsilah ash-Shahihah no. 348)
Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah dalam kitab beliau Subulus Salam menyatakan bahwa larangan dalam hadits ini bersifat makruh bahkan beliau menegaskan bahwa pendapat ini adalah pendapatnya jumhur ulama. Al-Imam an-Nawawi rahimahullah termasuk di antara ulama yang menilai larangan ini bersifat makruh, sebagaimana pernyataan beliau dalam syarah shahih muslim. Hal ini dikarenakan ada hadits lain yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memakai sandal sebelah, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari shahabiyyah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa tali sandal Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terputus sehingga beliau berjalan hanya dengan menggunakan sandal sebelah sampai beliau memperbaikinya.
Namun larangan ini diperkecualikan jika dalam keadaan-keadaan yang darurat atau adanya udzur syar’i, misalkan jika terdapat luka pada salah satu kaki sehingga tidak memungkinkan untuk mengenakan sandal maka tidak mengapa hanya mengenakan sebelah sandal. (Lihat Fathu Dzil Jalali Ibnu Utsaimin dan Syarah Shahih Muslim)
Bolehkah Berjalan Tanpa Alas Kaki?
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan bahwa memakai sandal termasuk bagian dari sunnah demikian pula tidak memakai sandal (tidak beralas kaki) juga bagian dari sunnah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Perbanyaklah memakai sandal karena sesungguhnya senantiasa berkendara selama dia memakai sandalnya.” (HR. Muslim)
Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Fadhalah bin ‘Ubaid beliau menyatakan:
“Dahulu Nabi memerintahkan kami untuk sesekali tidak mengenakan alas kaki.”
Tentunya amalan yang satu ini perlu pula melihat kondisi dan situasi. Jika memang tidak ada mudharat maka yang utama adalah terkadang mengenakan sandal dan terkadang melepasnya. Jika di sana ada mudharat, misalkan terdapat duri-duri di jalan yang akan dilalui maka yang utama adalah mengenakan sandal dan tidak melepasnya. (lihat Syarah Riyadhush Shalihin dan Fathu Dzil Jalali Ibnu Utsaimin).
Para pembaca rahimakumullah, demikianlah beberapa adab ketika mengenakan sandal yang diajarkan oleh agama kita yang mulia. Kita berharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaagar Dia memberikan kemudahan kepada kita semua untuk dapat mengamalkan apa yang telah kita baca dan pelajari bersama, amiin ya mujibassailin. Allahu a’lam bish shawab, semoga bermanfaat.
Penulis: Ustadz Abdullah Imam hafizhahullah
0 komentar
Posting Komentar