cari artikel lainnya

Ingin pasang widget seperti ini? KLIK DISINI

Selasa, 23 Februari 2016

Ketika Musibah Menghampiri Kita




Ketika Musibah Menghampiri Kita

Dalam perjalanan hidup di dunia ini tentu setiap insan tidak akan luput dari yang namanya permasalahan dan persoalan hidup. Di setiap detik waktu berputar maka di saat itu pulalah permasalahan menyapa. Inilah suatu sunnatullah (ketetapan Allah) dari sekian sunatullah dalam kehidupan manusia.
Permasalahan itupun beragam bentuk dan jenisnya. Salah satunya adalah adanya musibah/bencana. Setiap kita pasti pernah mengalami jenis permasalahan yang satu ini. Yang jadi pertanyaan adalah apa dan bagaimana manusia menyikapi suatu musibah?
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin ketika menjelaskan ayat 156 dari surat al-Baqarah, beliau menyebutkan bahwa manusia terbagi menjadi empat golongan ketika menghadapi musibah;
1. Ada yang bisa bersabar dan ini hukumnya wajib.
2. Ada yang ridha dan ini lebih sempurna dari sekedar sabar. Seorang yang sabar pada hakikatnya merasa berat dan terbebani dengan musibah tersebut hanya saja dia menahan diri agar tidak berkeluh kesah. Berbeda halnya dengan seorang yang ridha, dari awal dia tidak merasa terbebani dengan musibah yang datang.
3. Sebagian lagi ada yang bersyukur.
4. Sebagian yang lain berkeluh kesah dan marah dan ini hukumnya haram bahkan termasuk dosa besar.
Kiat-kiat
Berbagai macam cara dilakukan manusia dalam menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi. Ada di antara mereka yang segera mempraktekkan setiap yang mereka dengar dan lihat tanpa mau sejenak menelaah, meneliti apalagi menyaring terlebih dahulu. Yang ada dibenak hanya bagaimana permasalahan bisa selesai dengan cepat dan mudah meskipun harus menerobos batas-batas syariat. Ada yang mengambil “nasehatnya” orang-orang yang memang memanfaatkan momen musibah untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Ada pula yang merujuk kepada bimbingan orang-orang di luar Islam, bahkan yang lebih menyedihkan mendatangi paranormal dan orang-orang pintar (baca; dukun).
Para pembaca rahimakumullah, perlu kita sadari dan ketahui bersama bahwa sebagai seorang muslim tidak sepantasnya bagi dirinya untuk menjadikan selain al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pegangan dan sandaran dalam menghadapi dan menyelesaikan musibah dan bencana serta persoalan hidup lainnya. Cukup baginya solusi yang telah dibimbingkan Allah dan RasulNya dalam menyikapi dan menghadapi musibah yang sedang menimpa. Ada beberapa hal yang sepatutnya dijalankan oleh seorang mukmin ketika musibah mendera;
1. Musibah dan bencana adalah takdir Allah
Inilah sikap pertama yang harus terpatri dalam benak seorang muslim, meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa musibah ini tidaklah terjadi kecuali memang telah ditakdirkan oleh Allah. Dengan adanya keyakinan ini dalam diri seseorang maka diharapkan akan tumbuh dalam dirinya sikap tidak berduka cita dan pesimis ketika mengalami kegagalan dari yang diharapkan dan di sisi yang lain tidak berbangga diri atau sombong ketika memperoleh apa yang dicita-citakan. Sadar bahwa semua itu semata karena karunia dariNya, bukan karena daya dan upaya dirinya sendiri. Allah berfirman: “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kalian jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kalian, dan supaya kalian jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (al-Hadid: 22-23)
Para pembaca rahimakumullah, sikap yang demikian ini merupakan sikap yang terpuji, bahkan Rasulullah menjadikannya sebagai tanda kejujuran dan keindahan iman seseorang. Beliau mengatakan; “Tidaklah seorang hamba bisa merasakan manisnya iman hingga dia mengetahui (menyakini) bahwa sesungguhnya apa yang ditetapkan luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang ditetapkan menimpamu tidak akan luput darimu.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah).
2. Perlu adanya muhasabah dan evaluasi serta introspeksi diri
Sikap yang kedua ini jarang sekali dilakukan oleh manusia, baik yang sedang tertimpa musibah ataupun yang sekedar mendengar dan melihatnya. Acap kali yang terjadi adalah terburu-buru menilai, mengklaim, menyalahkan bahkan mengkambing-hitamkan pihak lain sebagai pencetus musibah tersebut. Mayoritas manusia pada masa sekarang mengaitkan berbagai macam musibah yang menimpa mereka dengan sebab-sebab (pelanggaran) yang bersifat zhahir/materi. Senyatanya di balik itu ada sebab-sebab (pelanggaran) syar’i yang justru paling kuat dan besar pengaruhnya.
Banjir misalnya, banyak orang yang terburu memberikan penilaian. Mereka menyatakan bahwa penyebabnya adalah adanya penebangan liar, tidak adanya upaya reboisasi atau bahkan menuduh pihak pemerintah tidak serius menangani banjir. Dia tidak menyadari dan tidak mengevaluasi diri, jangan-jangan dia turut andil menjadi penyebab turunnya musibah tersebut. Bisa jadi selama ini ternyata dia melakukan kesalahan yang lebih besar dosanya dari orang-orang yang dia tuduh di atas, sehingga menjadi pemicu utama datangnya musibah tersebut. Mungkin dengan bentuk kesyirikan kepada Allah, perdukunanan, durhaka kepada orang tua, meninggalkan shalat, hatinya penuh dengan penyakit seperti riya’ dan ujub serta bentuk pelanggaran-pelanggaran lain. Allah mengingatkan dalam al-Qur’an: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Ruum: 41) “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (asy-Syura’: 30).
Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata: “Menangislah kalian atas orang-orang yang ditimpa bencana. Jika dosa-dosa kalian lebih besar dari dosa-dosa mereka yang ditimpa musibah, maka ada kemungkinan kalian bakal dihukum atas dosa-dosa yang telah kalian perbuat, sebagaimana mereka telah mendapat hukumannya atau bahkan lebih dahsyat dari itu.”(Mawa’izh Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh)
3. Beristirja’ (mengucapkan kalimat “Inna lillahi wa inna ilahi raji’un”)
Allah berfirman; “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (al-Baqarah: 156)
Baginda nabi dalam sebuah hadits beliau bersabda; “Tidaklah seorang muslim yang sedang tertimpa musibah lalu dia mengucapkan doa yang Allah perintahkan,
إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ، اللهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي، وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا
“Sesungguhnya kami milik Allah dan hanya kepada-Nya kami akan kembali. Ya Allah berilah pahala kepadaku atas musibah yang menimpaku dan gantikanlah dengan yang lebih baik darinya.” melainkan Allah akan menggantikan untuknya sesuatu yang lebih baik.” (HR. Muslim).
4. Bersabar
Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan; “Wahai sekalian manusia, jika engkau sabar dan berharap pahala saat awal kali musibah menimpamu maka tidak ada pahala yang Aku ridhai untukmu selain al-Jannah (surga).” (HR. Ibnu Majah).
Al-Imam Hasan al-Bashri berkata “Kebaikan yang tidak ada kejelekan padanya adalah bersyukur ketika sehat serta bersabar ketika diuji dengan musibah. Betapa banyak manusia yang dianugerahi berbagai kenikmatan namun tidak mensyukurinya. Demikian pula betapa banyak manusia yang ditimpa suatu musibah akan tetapi tidak bisa bersabar atasnya.” (Mawa’izh al-Imam al-Hasan al-Bashri)
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Para pembaca rahimakumullah, sebagian manusia ketika datang suatu musibah keimanan dan ketakwaan dirinya kepada Rabbul ‘alamin menjadi tumbuh. Semangat untuk beribadah kepada Allah semakin bertambah. Namun tidak jarang juga didapati ketika musibah menimpa justru malah tambah lalai dari mengingat Allah dan lupa akan akhirat. Atas dasar inilah syariat Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, saling menasihati dan memberi masukan antara satu dengan yang lainnya. Allah menyebutkan dalam al- Qur’an: “Dan tetaplah Engkau memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (adz- Dzariyat: 55) “Dan saling menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr: 3).
Begitu urgennya perkara ini yang apabila umat terdiam dan meninggalkannya justru menjadi sebab bencana secara umum, termasuk orang-orang yang saleh di antara mereka.
Abu Bakar pernah berkhotbah, “Wahai manusia, aku memerhatikan kalian menafsirkan ayat ini: ‘Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu, tiadalah yang sesat itu memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.’ (al-Maidah: 105)
Aku telah mendengar Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya apabila kemaksiatan telah terjadi di tengah-tengah manusia dan tidak ada yang mengingkarinya, Allah akan menimpakan musibah yang merata kepada mereka’.” (HR. Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan yang lainnya)
Kita menyaksikan sendiri betapa banyak pelanggaran syariat yang terjadi sekarang ini. Sementara di sisi lain amat minim yang mau melakukan pengingkaran terhadap itu semua. Justru sebagian orang yang dianggap da’i sekarang layaknya selebriti, lebih mementingkan “dakwah”-nya bisa diterima semua kalangan, masalah isi/materi jadi nomor kesekian. Tidak lagi memperhatikan rambu-rambu dalam berdakwah yang telah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Jika demikian keadaannya, mungkinkah musibah akan menjauh dari kita? Sementara musibah kian merebak dengan berbagai jenisnya, tidak sekedar yang zhahir/materi. Musibah berupa kerancuan-kerancuan berpikir yang ditebarkan oleh para penggawa liberalis juga kian merebak akhir-akhir ini. Yah, mereka yang menyatakan bahwa semua agama benar, injil lebih baik dari al Qur’an, Nabi Ibrahim adalah Nabi kriminal karena berusaha melakukan tindak kriminal kepada anaknya Ismail dan pemikiran-pemikiran nyeleneh lainnnya. Ini adalah jenis musibah yang lebih bahaya ketimbang yang zhahir.
Akhir kata, kita berdoa semoga Allah menjaga dan melindungi kita dari berbagai musibah. Demikian pula kita berdoa untuk pemerintah kita agar diberi petunjuk oleh Allah dalam menjalankan tugas mereka. Semoga Allah tanamkan kepada mereka kecintaan kepada sunnah dan ahlu sunnah serta Allah lindungi dari kejahatan musuh-musuh Islam. “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami, ampunilah kami dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (al-Baqarah: 286).
Allahu a’lam bish shawwab.
Semoga bermanfaat.
Penulis: Ustadz Abdullah Imam

0 komentar

Posting Komentar

PILIHAN-PILIHAN