ADOPSI, APAKAH SYAR’I?
Syariat Islam datang dengan membawa
keadilan. Di waktu yang sama ajaran Islam juga mengikis kezhaliman,
dengan segala bentuknya. Ia mengatur segala sendi kehidupan manusia,
termasuk permasalahan nasab (garis keturunan) seseorang. Dengan bantuan
pengetahuan nasab, seorang anak bisa beribadah kepada Allah dengan
berbakti kepada kedua orang tuanya. Demikian pula, orang tua bisa
beribadah kepada Allah dengan menunaikan kewajibannya sebagai orang tua
terhadap anaknya.
Para pembaca rahimakumullah, pada edisi kali ini insya Allah kami akan mengulas tafsir dari surat al Ahzab ayat 4-5, yang di dalamnya dibahas tentang anak angkat dalam tinjauan Islam.
Urgensi Nasab
Kejelasan nasab dalam Islam merupakan
hal yang sangat penting. Banyak hukum Islam yang erat kaitannya dengan
nasab, seperti hukum pernikahan, permasalahan mahram, hukum waris, dan
lain sebagainya. Dengan mengetahui kejelasan nasab maka hal-hal yang
tidak diperbolehkan dalam Islam bisa dihindari. Pernah terjadi, seorang
laki-laki menikah dengan seorang wanita. Pada awalnya, kehidupan rumah
tangganya berjalan harmonis dan telah melahirkan putra-putri. Namun,
seiring dengan berjalannya waktu, diketahui bahwa suami istri tersebut
adalah saudara sekandung. Usut-diusut, ternyata, ketika kecil keduanya
berbeda asuhan, masing-masing dijadikan anak angkat/diadopsi oleh dua
orang yang berbeda, tanpa sepengetahuan anak tersebut. Tidak jarang
pula, anak angkat menyandarkan nasabnya kepada orangtua yang
mengadopsinya. Sehingga anak adopsi tersebut dijadikan ahli waris orang
tua angkat itu. Padahal, secara nasab keduanya tidak memiliki hubungan
selain sebatas sebagai orang tua angkat dan anak angkat. Dan banyak
kasus lainnya. Oleh karena itu, penting untuk mempelajari permasalahan
nasab agar tidak terjadi pelanggaran syariat dan tidak ada pihak yang
terzalimi.
Adopsi Dalam Timbangan Syariat Islam
Para pembaca rahimakumullah,
Islam sebagai agama universal dan sempurna telah menjelaskan
permasalahan adopsi. Permasalahan ini telah dijelaskan Allah dalam
al-Qur`an. Allah berfirman (artinya),
“Allah sekali-kali tidak menjadikan
bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan
istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak
menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang
demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan
yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (QS. al-Ahzab: 4)
Mengangkat anak kemudian mengganti
nasabnya dengan menyandarkan kepada selain ayah kandungnya pernah
terjadi di masa jahiliyah dan pada masa awal Islam. Dengan diutusnya
Rasulullah dan diturunkannya al-Qur`an, Allah hendak menghapus kebiasaan
ini. Dan perlu diyakini bersama, tidaklah Allah melarang atau menghapus
suatu perkara melainkan perkara tersebut mengandung keburukan dan
kejelekan.
Dalam kasus anak angkat di atas, Allah
menjelaskan keburukan perbuatan tersebut. Yaitu, bahwa perbuatan ini
adalah perbuatan salah dan termasuk bentuk kedustaan. Sebab, ayah
sesungguhnya dari anak adopsi adalah ayah kandungnya, bukan orang yang
mengadopsinya. Namun, ia justru menisbatkannya kepada selain ayah
kandungnya. Pada ayat di atas Allah menegaskan (artinya), “Dan Dia tidak
menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri).“
Maksudnya, anak yang sesungguhnya adalah anak-anak yang terlahir dari
kalian dan bagian dari kalian. Adapun anak angkat , ia bukan bagian dari
kalian. Oleh karena itu, Allah tidak menjadikannya sebagai anak kalian.
Para pembaca rahimakumullah,
ada beberapa pelanggaran syariat pada perbuatan mengadopsi anak kemudian
menisbatkannya kepada selain bapak kandungnya. Penyimpangan tersebut
antara lain;
1. Menisbatkan nasab kepada selain bapak kandungnya. Ini merupakan bentuk kedustaan.
2. Menjadikan yang bukan ahli waris sebagai ahli waris yang saling mewarisi.
3. Menjadikan mahram padahal bukan mahram
4. Orang tua angkat menjadi wali untuk akad nikah anak angkatnya, padahal ia bukan walinya.
2. Menjadikan yang bukan ahli waris sebagai ahli waris yang saling mewarisi.
3. Menjadikan mahram padahal bukan mahram
4. Orang tua angkat menjadi wali untuk akad nikah anak angkatnya, padahal ia bukan walinya.
Sababun-Nuzul Ayat
Ayat ini turun terkait dengan
permasalahan Zaid bin Haritsah maula Nabi. Sebelum diangkat menjadi
nabi, Rasulullah mengangkat Zaid sebagai anak. Sehingga, Zaid dipanggil
dengan Zaid bin Muhammad. Terkait peristiwa tersebut turunlah ayat
ke-4 dari surah al-Ahzab ini. Dalam ayat lain, Allah menegaskan
(artinya),
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah
bapak dari seorang laki-laki di antara kalian. Akan tetapi ia adalah
seorang utusan Allah dan penutup para nabi.” (QS. al-Ahzab: 40)
Setelah turunnya ayat di atas, Allah
melarang untuk dikatakan Zaid bin Muhammad (Zaid putra Muhammad).
Maksudnya, Rasulullah bukanlah bapak Zaid walaupun beliau telah
mengangkatnya sebagai anak. Selama hidup Rasulullah tidak pernah
memiliki anak laki-laki yang hidup sampai dewasa. Beliau pernah memiliki
anak laki-laki dari Khadijah, yaitu al-Qasim, at-Thayib dan
ath-Thahir. Hanya saja, tiga putra laki-laki tersebut wafat ketika masih
kecil. Beliau juga memiliki putra bernama, Ibrahim dari Mariyah
al-Qibtiyah. Ibrahim pun meninggal ketika masih kecil.
Status Anak Adopsi
Pembaca, pengangkatan anak kemudian
mengganti nasabnya tidaklah merubah status anak tersebut menjadi anak
kandungnya. Dalam ayat tersebut Allah tegaskan (artinya), “Itulah ucapan
kalian dengan lisan-lisan kalian.”
Dijelaskan oleh Ibnu Katsir,
pengangkatan seseorang sebagai anak tidak menjadikan anak angkat
tersebut menjadi anak sebenarnya/kandung. Anak angkat tersebut berasal
dari sulbi orang lain. Sebab, satu anak tidak mungkin memiliki dua ayah,
sebagaimana seorang tidak mungkin memiliki dua hati. Kemudian Allah
melanjutkan (artinya),
“Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan kepada jalan (yang benar).”
Maksudnya, Allah mengatakan perkataan
yang adil dan menunjukkan kepada jalan yang lurus. Artinya, hukum yang
ditetapkan Allah dengan menghapus anak angkat adalah bentuk keadilan dan
jalan kebenaran.
Memanggil Anak Angkat
Allah memerintahkan untuk memanggil seseorang dengan nasab ayahnya. Firman Allah (artinya),
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil di sisi Allah.”
Ayat ini menghapus hukum yang terjadi
di awal Islam, yaitu bolehnya mengangkat anak dan menganggap sebagai
anak sendiri dengan menyandarkan nasab anak tersebut kepadanya. Maka
pada ayat ini, Allah memerintahkan agar mengembalikan nasab seorang anak
kepada orang tua yang sebenarnya bukan kepada orang tua angkatnya.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Abdullah bin Umar berkata, “Dahulu
kami tidak memanggil Zaid bin Haritsah maula Rasulullah melainkan dengan
panggilan Zaid bin Muhammad. Sampai akhirnya turun ayat (QS. al-Ahzab:
5), “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil di sisi Allah. Dan jika
kalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka
sebagai) saudara-saudara kalian seagama dan maula-maula kalian.” (HR.
al-Bukhari)
Akhirnya, dengan diberlakukannya hukum
baru tersebut Rasulullah mendudukkan status anak angkat beliau kepada
nasab sebenarnya yaitu Zaid bin Haritsah. Realisasi hukum tersebut
terbukti pada sebuah kejadian. Ketika itu, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin
Haritsah, dan Ja’far berebut ingin mengasuh putri Hamzah bin Abdul
Muththalib yang masih kecil. Masing masing mengemukakan alasannya.
Setelah itu, Rasulullah berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Engkau
dariku dan aku darimu.” Rasulullah lalu berkata kepada Ja’far bin Abi
Thalib, “Engkau menyerupai akhlakku dan fisikku.” Terakhir, dan ini
adalah intinya, beliau berkata kepada Zaid bin Haritsah z, “Engkau
saudara kami dan maula kami.” Dalam peristiwa tersebut Rasulullah tidak
lagi memanggil Zaid dengan dinasabkan kepada diri beliau tetapi kepada
status sebenarnya. Wallahu a’lam.
Ancaman bagi yang menisbatkan anak kepada selain ayahnya
Rasulullah mengancam orang yang
menyandarkan nasab kepada selain bapak kandungnya. Dari Sa’ad bin Abi
Waqqashz, ia berkata, Rasulullah bersabda (artinya), “Barang siapa yang
mengaku (menyandarkan nasab) kepada selain bapaknya padahal mengetahui
bahwa dia bukan bapaknya maka surga haram baginya.” Maksudnya, haram
masuk surga secara langsung.
Dalam riwayat Ahmad dari Ibnu Abbas disebutkan, “Dahulu kami membaca (yaitu pada ayat yang lafazhnya mansukh/dihapus),
لَا تَرْغَبُوْا عَنْ آبَائِكُمْ، فَإِنَّ كُفْرًا بِكُمْ أَنْ تَرْغَبُوْا عَنْ آبَائِكُمْ
“Janganlah kalian membenci jika
(disandarkan) kepada bapak-bapak kalian. Sesungguhnya kekufuran bagi
kalian jika kalian membenci untuk disandarkan kepada bapak-bapak
kalian.”
Dalam hadits lain dari sahabat Abu Dzar Rasulullah bersabda,
لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ ـ وَهُوَ يَعْلَمُهَ إِلَّا كَفَرَ
“Tidaklah seseorang mengaku-ngaku kepada
selain bapaknya dalam keadaan dia tahu melainkan dia telah melakukan
kekufuran.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Kesimpulannya, menyandarkan nasab kepada
selain ayahnya merupakan perbuatan dosa besar. Tentu, apabila hal
tersebut dilakukan secara sengaja.
Jika sudah terlanjur?
Syariat Islam ini tentu penuh dengan
rahmat dan kasih sayang. Bagi yang terlanjur melakukannya tanpa
kesengajaan maka ia wajib untuk mengembalikan nasab anak tersebut kepada
ayah kandungnya dan tidak ada dosa baginya. Hal ini sebagaimana yang
ditegaskan oleh Allah (artinya),
“Dan tidak ada dosa atas kalian
terhadap apa yang kalian khilaf padanya. Tetapi (yang ada dosanya)
adalah apa yang disengaja oleh hati kalian. Adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Ahzab: 5)
Wallahu a’lamu bish-shawab
Penulis: Ust. Huda Ngawi
0 komentar
Posting Komentar