cari artikel lainnya

Ingin pasang widget seperti ini? KLIK DISINI

Jumat, 01 April 2016

ADOPSI, APAKAH SYAR’I

ADOPSI, APAKAH SYAR’I?

ADOPSI, APAKAH SYAR’I?

Syariat Islam datang dengan membawa keadilan. Di waktu yang sama ajaran Islam juga mengikis kezhaliman, dengan segala bentuknya. Ia mengatur segala sendi kehidupan manusia, termasuk permasalahan nasab (garis keturunan) seseorang. Dengan bantuan pengetahuan nasab, seorang anak bisa beribadah kepada Allah dengan berbakti kepada kedua orang tuanya. Demikian pula, orang tua bisa beribadah kepada Allah dengan menunaikan kewajibannya sebagai orang tua terhadap anaknya.
Para pembaca rahimakumullah, pada edisi kali ini insya Allah kami akan mengulas tafsir dari surat al Ahzab ayat 4-5,  yang di dalamnya dibahas tentang anak angkat dalam tinjauan Islam.

Urgensi Nasab

Kejelasan nasab dalam Islam merupakan hal yang sangat penting. Banyak hukum Islam yang erat kaitannya dengan nasab, seperti hukum pernikahan, permasalahan mahram, hukum waris, dan lain sebagainya. Dengan mengetahui kejelasan nasab maka hal-hal yang tidak diperbolehkan dalam Islam bisa dihindari. Pernah terjadi, seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita. Pada awalnya, kehidupan rumah tangganya berjalan harmonis dan telah melahirkan putra-putri. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, diketahui bahwa suami istri tersebut adalah saudara sekandung. Usut-diusut, ternyata, ketika kecil keduanya berbeda asuhan, masing-masing dijadikan anak angkat/diadopsi oleh dua orang yang berbeda, tanpa sepengetahuan anak tersebut. Tidak jarang pula, anak angkat menyandarkan nasabnya kepada orangtua yang mengadopsinya. Sehingga anak adopsi tersebut dijadikan ahli waris orang tua angkat itu. Padahal, secara nasab keduanya tidak memiliki hubungan selain sebatas sebagai orang tua angkat dan anak angkat. Dan banyak kasus lainnya. Oleh karena itu, penting untuk mempelajari permasalahan nasab agar tidak terjadi pelanggaran syariat dan tidak ada pihak yang terzalimi.

Adopsi Dalam Timbangan Syariat Islam

Para pembaca rahimakumullah, Islam sebagai agama universal dan sempurna telah menjelaskan permasalahan adopsi. Permasalahan ini telah dijelaskan Allah dalam al-Qur`an. Allah berfirman (artinya),
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (QS. al-Ahzab: 4)
Mengangkat anak kemudian mengganti nasabnya dengan menyandarkan kepada selain ayah kandungnya pernah terjadi di masa jahiliyah dan pada masa awal Islam. Dengan diutusnya Rasulullah dan diturunkannya al-Qur`an, Allah hendak menghapus kebiasaan ini. Dan perlu diyakini bersama, tidaklah Allah melarang atau menghapus suatu  perkara melainkan perkara tersebut  mengandung keburukan dan kejelekan.
Dalam kasus anak angkat di atas, Allah menjelaskan keburukan perbuatan tersebut. Yaitu, bahwa perbuatan ini adalah perbuatan salah dan termasuk bentuk kedustaan. Sebab, ayah sesungguhnya dari anak adopsi adalah ayah kandungnya, bukan orang yang mengadopsinya. Namun, ia justru menisbatkannya kepada selain ayah kandungnya. Pada ayat di atas Allah menegaskan (artinya), “Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri).“ Maksudnya, anak yang sesungguhnya adalah  anak-anak yang terlahir dari kalian dan bagian dari kalian. Adapun anak angkat , ia bukan bagian dari kalian. Oleh karena itu, Allah tidak menjadikannya sebagai anak kalian.

Para pembaca rahimakumullah, ada beberapa pelanggaran syariat pada perbuatan mengadopsi anak kemudian menisbatkannya kepada selain bapak kandungnya. Penyimpangan tersebut antara lain;
1. Menisbatkan nasab kepada selain bapak kandungnya. Ini merupakan bentuk kedustaan.
2. Menjadikan yang bukan ahli waris sebagai ahli waris yang saling mewarisi.
3. Menjadikan mahram padahal bukan mahram
4. Orang tua angkat menjadi wali untuk akad nikah anak angkatnya, padahal ia bukan walinya.

Sababun-Nuzul Ayat

Ayat ini turun terkait dengan permasalahan  Zaid bin Haritsah maula Nabi. Sebelum diangkat menjadi nabi, Rasulullah mengangkat Zaid sebagai anak. Sehingga, Zaid  dipanggil dengan  Zaid bin Muhammad. Terkait peristiwa tersebut turunlah ayat ke-4 dari surah al-Ahzab ini. Dalam ayat lain, Allah menegaskan (artinya),
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian. Akan tetapi ia adalah seorang utusan Allah dan penutup para nabi.” (QS. al-Ahzab: 40)
Setelah turunnya ayat di atas, Allah melarang untuk dikatakan Zaid bin Muhammad (Zaid putra Muhammad). Maksudnya, Rasulullah bukanlah bapak Zaid walaupun beliau telah mengangkatnya sebagai anak. Selama hidup Rasulullah tidak pernah memiliki anak laki-laki yang hidup sampai dewasa. Beliau pernah memiliki anak laki-laki dari Khadijah, yaitu al-Qasim,  at-Thayib dan ath-Thahir. Hanya saja, tiga putra laki-laki tersebut wafat ketika masih kecil. Beliau juga memiliki putra bernama, Ibrahim dari Mariyah al-Qibtiyah. Ibrahim pun meninggal ketika  masih kecil.

Status Anak Adopsi

Pembaca, pengangkatan anak kemudian mengganti nasabnya tidaklah merubah status anak tersebut menjadi anak kandungnya. Dalam ayat tersebut Allah tegaskan (artinya), “Itulah ucapan kalian dengan lisan-lisan kalian.”
Dijelaskan oleh Ibnu Katsir, pengangkatan seseorang sebagai anak  tidak menjadikan anak angkat tersebut menjadi anak sebenarnya/kandung.  Anak angkat tersebut berasal dari sulbi orang lain. Sebab, satu anak tidak mungkin memiliki dua ayah, sebagaimana seorang tidak mungkin memiliki dua hati. Kemudian Allah melanjutkan (artinya),
“Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan kepada jalan (yang benar).”
Maksudnya, Allah mengatakan perkataan yang adil dan menunjukkan kepada jalan yang lurus. Artinya, hukum yang ditetapkan Allah dengan menghapus anak angkat adalah bentuk keadilan dan jalan kebenaran.

Memanggil Anak Angkat

Allah memerintahkan untuk memanggil seseorang dengan nasab ayahnya. Firman Allah (artinya),
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil di sisi Allah.”
Ayat ini menghapus hukum yang terjadi  di awal Islam, yaitu bolehnya mengangkat anak  dan menganggap sebagai anak sendiri dengan menyandarkan nasab anak tersebut kepadanya. Maka pada ayat ini, Allah memerintahkan agar mengembalikan nasab seorang anak kepada orang tua yang sebenarnya bukan kepada orang tua angkatnya. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Abdullah bin Umar berkata, “Dahulu kami tidak memanggil Zaid bin Haritsah maula Rasulullah melainkan dengan panggilan Zaid bin Muhammad. Sampai akhirnya turun ayat (QS. al-Ahzab: 5), “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil di sisi Allah. Dan jika kalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudara kalian seagama dan maula-maula kalian.”  (HR. al-Bukhari)
Akhirnya, dengan diberlakukannya hukum baru tersebut Rasulullah mendudukkan status anak angkat beliau kepada nasab sebenarnya yaitu Zaid bin Haritsah. Realisasi hukum tersebut terbukti pada sebuah kejadian. Ketika itu, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, dan Ja’far berebut ingin mengasuh putri Hamzah bin Abdul Muththalib yang masih kecil. Masing masing mengemukakan alasannya. Setelah itu, Rasulullah berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Engkau dariku dan aku darimu.” Rasulullah lalu berkata kepada Ja’far bin Abi Thalib, “Engkau menyerupai akhlakku dan fisikku.” Terakhir, dan ini adalah intinya, beliau berkata kepada Zaid bin Haritsah z, “Engkau saudara kami dan maula kami.” Dalam peristiwa tersebut Rasulullah tidak lagi memanggil Zaid dengan dinasabkan kepada diri beliau tetapi kepada status sebenarnya. Wallahu a’lam.

Ancaman bagi yang menisbatkan anak kepada selain ayahnya

Rasulullah mengancam orang yang menyandarkan nasab kepada selain bapak kandungnya. Dari Sa’ad bin Abi Waqqashz, ia berkata, Rasulullah bersabda (artinya), “Barang siapa yang mengaku (menyandarkan nasab) kepada selain bapaknya padahal mengetahui bahwa dia bukan bapaknya maka surga haram baginya.” Maksudnya, haram masuk surga secara langsung.
Dalam riwayat Ahmad dari Ibnu Abbas disebutkan, “Dahulu kami membaca (yaitu pada ayat yang lafazhnya mansukh/dihapus),
لَا تَرْغَبُوْا عَنْ آبَائِكُمْ، فَإِنَّ كُفْرًا بِكُمْ أَنْ تَرْغَبُوْا عَنْ آبَائِكُمْ
“Janganlah kalian membenci jika (disandarkan) kepada bapak-bapak kalian. Sesungguhnya kekufuran bagi kalian jika kalian membenci untuk disandarkan kepada bapak-bapak kalian.”
Dalam hadits lain dari sahabat Abu Dzar Rasulullah bersabda,
لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ ـ وَهُوَ يَعْلَمُهَ إِلَّا كَفَرَ
“Tidaklah seseorang mengaku-ngaku kepada selain bapaknya dalam keadaan dia tahu melainkan dia telah melakukan kekufuran.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Kesimpulannya, menyandarkan nasab kepada selain ayahnya merupakan perbuatan dosa besar. Tentu, apabila hal tersebut dilakukan secara sengaja.

Jika sudah terlanjur?

Syariat Islam ini tentu penuh dengan rahmat dan kasih sayang. Bagi yang terlanjur melakukannya tanpa kesengajaan maka ia wajib untuk mengembalikan nasab anak tersebut kepada ayah kandungnya dan tidak ada dosa baginya. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah (artinya),
Dan tidak ada dosa atas kalian terhadap apa yang kalian khilaf padanya. Tetapi (yang ada dosanya) adalah apa yang disengaja oleh hati kalian. Adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Ahzab: 5)
 
Wallahu a’lamu bish-shawab
Penulis: Ust. Huda Ngawi

0 komentar

Posting Komentar

PILIHAN-PILIHAN