KESALAHAN-KESALAHAN KETIKA DI MASJID
Manusia memang banyak melakukan
kesalahan, hal ini terjadi karena beberapa faktor, diantaranya
ketidaktahuan, lupa atau meremehkan. Namun seorang muslim yang baik siap
merubah kebiasan yang salah ketika telah datang padanya ilmu yang
bersumber dari Al Qur’an dan hadits yang shahih sebagaimana yang
dipahami oleh salafush shalih bahwa perbuatan tersebut adalah salah atau
terlarang.
Para pembaca rahimakumullah, pada edisi kali ini kami akan
membahas beberapa kebiasaan yang salah ketika berada di dalam masjid
yang seharusnya dirubah atau ditinggalkan.Meninggalkan Shalat Tahiyyatul Masjid
Para pembaca rahimakumullah,
masjid merupakan rumah Allah memiliki nilai kehormatan dan kemuliaan
yang tinggi dalam Islam. Masjid merupakan salah satu syiar dari agama
Islam yang wajib untuk dijaga, diagungkan dan dimuliakan. Allah
berfirman (artinya);
“Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (al Hajj: 32)
Diantara bentuk pengagungan dan
pemuliaan terhadap masjid adalah dengan melakukan shalat tahiyyatul
masjid 2 rakaat ketika masuk ke masjid. Namun realita membuktikan,
amalan ini masih banyak ditinggalkan oleh sebagian kaum muslimin. Tidak
jarang kita melihat para jamaah yang datang dan masuk ke masjid langsung
duduk tanpa shalat tahiyyatul masjid terlebih dahulu. Terlepas tentang
hukum shalat tahiyyatul masjid itu sendiri apakah wajib atau sunnah,
namun sepantasnya bagi seorang muslim untuk benar-benar mengagungkan dan
memuliakan syiar-syiar islam, yang ini merupakan tanda ketakwaan hati.
As Syaikh Ibnu Utsaimin dalam sebuah
fatwanya ketika memberikan jawaban tentang hukum shalat tahiyyatul
Masjid –beliau termasuk yang berpendapat wajib- beliau memberikan sebuah
nasehat yang sangat berharga:
“Namun saya nasehatkan kepada kalian
bahwa jika ada suatu larangan maka tinggalkanlah dan jangan bertanya
apakah larangan tersebut hukumnya haram atau makruh? Demikian pula jika
ada suatu perintah maka laksanakanlah dan jangan bertanya apakah
perintah tersebut hukumnya wajib atau sunnah? Adalah dahulu para
shahabat jika Rasulullah memerintahkan sesuatu kepada mereka, tidaklah
kemudian mereka bertanya “Ya Rasulullah apakah perintah ini wajib atau
sunnah? Yang mereka lakukan adalah segera mengamalkannya. Pada
hakikatnya seseorang itu perlu dicurigai jika mendengar perintah Allah
dan Rasul-Nya kemudian dia menanyakan, ‘ini wajib atau sunnah’? Wahai
saudaraku, engkau hanya diperintah untuk mengamalkan! Demikian pula jika
mendengar larangan dia menanyakan, ‘ini makruh atau haram’? Engkau
hanya diperintah untuk meninggalkan! Ya, jika seseorang mengalami
kesulitan (kebingungan) sehingga belum mengamalkan perintah dan belum
meninggalkan larangan maka kita perlu bahas apakah ini wajib atau
sunnah. Adapun sebelum itu maka nasehatku kepada setiap mukmin jika
mendengar perintah Allah dan Rasul-Nya maka hendaknya mengatakan “Kami
dengar dan kami taat” lalu mengamalkannya. Demikian pula jika dia
mendengar larangan maka hendaknya mengatakan “Kami dengar dan kami taat
lalu meninggalkannya dan jangan memaksakan diri. Merekalah manusia
yang paling kuat imannya…” (lihat Liqa al Bab al Maftuh 160/29)
Para pembaca rahimakumullah,
saat kita di Masjid kadang mengalami kelelahan lalu membaringkan tubuh
untuk menghilangkan kelelahan dan kepenatan. Namun kadang kita dapati
sebagian orang yang beristirahat di masjid dengan menelungkupkan badan,
sementara syariat ini melarang yang demikian. Perlu diketahui bahwa
larangan tidur tengkurap sebenarnya bersifat umum, tidak hanya di
masjid. Hanya saja pembahasan kita adalah kegiatan yang sering terjadi
di dalam masjid.
Thikhfah bin Qais al Ghifari
menceritakan sebuah pengalamannya bersama nabi; “Tatkala aku sedang
tidur tengkurap di Masjid karena sakit di dada, tiba-tiba ada seseorang
yang menggerakkan diriku dengan kakinya. Orang itu berkata “Sesungguhnya
ini adalah cara tidur yang dimurkai Allah.” Kemudian aku lihat orang
tersebut yang ternyata adalah Rasulullah.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Juga disebutkan dari hadits Abu Dzarr,
ia berkata, “Nabi lewat di hadapanku dan ketika itu aku sedang tidur
tengkurap. Beliau lalu menggerak-gerakkanku dengan kaki beliau seraya
bersabda, “Wahai Junaidib, posisi tidur seperti ini seperti posisi
tidurnya penduduk neraka.” (HR. Ibnu Majah)
Dari 2 hadits ini tampak bagi kita
tentang larangan tidur dengan posisi tengkurap karena menyebabkan
kemurkaan Alllah bahkan merupakan posisi tidur penduduk Neraka. Maka
hendaknya seseorang tidak tidur dengan posisi seperti ini, terlebih lagi
jika dilakukan di tempat yang terbuka/umum semisal masjid. Karena jika
orang banyak melihat posisi tidur semacam ini, maka tentunya menjadi
suatu pemandangan yang kurang baik. Kecuali dalam keadaan darurat yang
sulit dihindari sehingga mengharuskan untuk tidur tengkurap, seperti
karena sakit. Adapun jika bukan darurat maka sebaiknya ditinggalkan
meskipun sudah menjadi kebiasaan. (lihat Syarah Riyadhush Shalihin Ibnu
‘Utsaimin 4/343, fatawa al Lajnah ad Daimah 26/146 dan Fatawa Bin Baz
via situs).
Kurang memperhatikan masalah pakaian
Para pembaca rahimakumullah, Allah berfirman (artinya):
“Wahai anak Adam kenakanlah zinah (pakaian) kalian setiap kali menuju masjid.” (Al-A’raf: 31)
Para ulama fiqih menjadikan ayat ini
sebagai dalil tentang wajibnya menutup aurat ketika shalat. Berdasarkan
ayat ini pula mereka menjelaskan tentang pentingnya berpenampilan yang
baik, bersih dan indah ketika ke masjid, tidak sekedar bertujuan untuk
menutup aurat. Seseorang dituntut agar berpenampilan yang demikian itu
karena ia akan berdiri di hadapan Allah dan bermunajat kepada-Nya. Hal
ini bukan berarti shalatnya tidak sah, akan tetapi yang namanya menutup
aurat di dalam shalat tidaklah cukup dengan berpakaian ala kadarnya yang
penting menutup aurat lalu tidak peduli dengan kerapian dan
keindahannya.
Terkadang kita dapatkan sebagian jamaah
kurang perhatian akan hal ini. Berbeda dengan yang dilakukan para ulama
terdahulu, begitu perhatiannya mereka dalam permasalahan ini. Bahkan
disebutkan ada di antara mereka yang sengaja membeli pakaian dengan
harga ‘lumayan’ sekedar untuk dikenakan ketika shalat dengan alasan
“Rabb-ku lebih berhak untuk aku berpenampilan indah bagi-Nya ketika aku
shalat. ”Subhanallah! Sudahkah kita meniru mereka? (lihat al Mulakhash al fiqhi 1/111 , asy Syarhul Mumti’ 2/149 dan Madarijus salikin 2/363)
Mencari dan mengumumkan barang hilang
Para pembaca rahimakumullah, terkait permasalahan ini, baginda Nabi dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan oleh al Imam Muslim pernah bersabda (artinya);
“Barangsiapa mendengar
ada seseorang yang mencari barang hilang di dalam masjid maka katakanlah
kepada orang tersebut “لا ردها الله عليك” (semoga Allah tidak
mengembalikannya kepadamu) karena sesungguhnya masjid-masjid itu tidak
dibangun untuk tujuan ini.” (HR. Muslim: )
Perhatikanlah hadits ini baik-baik!
Rasulullah melarang untuk mengumumkan dan mencari barang yang hilang di
dalam masjid. Bahkan memerintahkan untuk mendoakan agar barang tersebut
benar-benar tidak ditemukan. Hal ini bukan karena benci kepada orang
tersebut atau tidak senang jika barangnya ditemukan, namun sebagai
peringatan agar tidak menjadi suatu kebiasaan. Semua itu karena masjid
bukanlah tempat untuk kepentingan yang demikian, namun sebagai tempat
untuk beribadah kepada Allah. Sama saja pengumuman tersebut disiarkan
dengan menggunakan suara ataukah dengan menempel pengumuman di dalam
masjid, tetap tidak diperbolehkan. Kecuali jika diumumkan di luar masjid
maka tidak mengapa. (lihat Fatawa Nur ‘Alad Darb Ibnu Baz 11/339-340
dan Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah 30/89-90)
Membicarakan masalah keduniaan
Para pembaca rahimakumullah,
pada dasarnya tidak mengapa berbicara atau berbincang tentang urusan
dunia di masjid dengan syarat pembicaraannya ringan, tidak meluas, tidak
ribut dan tidak mengganggu orang lain yang sedang beribadah di masjid
tersebut. Jika tidak terpenuhi syarat-syarat tersebut maka hukumnya
makruh. Hal ini karena masjid dibangun bukan sebagai tempat membicarakan
urusan dunia, namun dalam rangka untuk beribadah kepada Allah seperti
berdzikir, shalat, membaca al-Qur’an dan ibadah yang lainnya.
Demikianlah yang semestinya diperhatikan oleh kita.
Terkadang yang terjadi adalah sikap
bermudah-mudahan sebagian jamaah ketika di masjid memperbincangkan
masalah keduniaan melebihi batas. Bahkan tidak jarang terdengar pula
hal-hal yang ‘berbau’ pelanggaran syariat, seperti ghibah,
obrolan-obrolan yang tidak layak bahkan terkadang menjurus ke syahwat,
provokasi massa dan yang semisal. (lihat fatawa Nur alad Darb Bin Baz
11/346 dan fatawa al Lajnah ad Daimah 6/280)
Tasybik (Menjalin jari-jemari tangan kanan dengan jari- jemari tangan kiri)
Para pembaca rahimakumullah,
perbuatan ini tidak jarang pula dilakukan oleh sebagian orang dalam
keadaan mereka berada di masjid. Sementara telah datang dalam hadits
larangan untuk melakukan tasybik ketika berada di dalam masjid menunggu
shalat atau sedang mengerjakan shalat. Rasulullah bersabda (artinya);
“Jika salah seorang diantara kalian
sedang berada di Masjid maka janganlah melakukan tasybik karena tasybik
dari setan. Sesungguhnya salah seorang dari kalian senantiasa terhitung
dalam shalat selama dia berada di Masjid hingga keluar darinya.” (HR.
Ahmad)
Bahkan dalam hadits yang lain disebutkan
larangan tersebut berlaku pula ketika sedang menuju ke masjid.
Rasulullah bersabda (artinya);
“Jika salah seorang dari kalian berwudhu
dan membaguskan wudhunya lalu sengaja keluar menuju masjid maka
janganlah melakukan tasybik karena dia (terhitung) sedang shalat.” (HR.
Abu Daud dan yang lainnya)
Ada 2 sebab larangan tasybik tersebut; karena perbuatan itu dari setan dan karena dia dalam keadaan shalat.
Aroma yang tidak sedap
Para pembaca rahimakumullah,
kita pasti merasa terganggu jika mencium bau tidak sedap yang timbul
dari orang yang berada di samping kita ketika shalat. Hal ini akhirnya
menyebabkan kurang khusyuknya kita dalam shalat tersebut. Tentu yang
demikian ini tidak seharusnya terjadi. Rasulullah pernah bersabda
(artinya);
“Barangsiapa yang memakan bawang putih
atau bawang merah maka menyingkirlah dari kami atau dari masjid kami dan
duduklah di rumahnya.” (HR. al Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda (artinya);
“Barangsiapa yang memakan tanaman ini
(yakni bawang putih) maka janganlah dia mendekati masjid-masjid kami
hingga hilang baunya.” (HR. Muslim)
Meskipun hadits ini berbicara tentang
bawang putih dan bawang merah namun para ulama mengambil kesimpulan
hukum darinya bahwa segala sesuatu yang menyebabkan bau yang tidak sedap
harus dijauhkan dari masjid. Sehingga tidak terbatas pada bawang saja,
namun juga yang lainnya yang beraroma tidak nyaman. Semua yang beraroma
busuk, hukumnya sama dengan hukum bawang putih dan bawang merah,
seperti bau mulut, bau ketiak, bau badan, bau pakaian dan yang lainnya.
Termasuk pula asap rokok. Terlepas dari hukum rokok, suatu hal yang
maklum bagi setiap orang bahwa rokok dapat menimbulkan gangguan, baik
asapnya dan puntungnya atau abunya. Terlebih lagi jika dilakukan di
dalam masjid. Maka yang wajib ialah berusaha semaksimal mungkin untuk
menghilangkan segala aroma tidak sedap sebelum berangkat ke masjid
sehingga jamaah yang lain tidak terganggu. (lihat Fatawa Nur ‘Ala ad
Darb Bin Baz 7/291, Majmu’ Fatawa Bin Baz 6/127 dan 12/84).
Wallahu a’lam bish shawab. Semoga bermanfaat.
Penulis: Ustadz Abdullah Imam
0 komentar
Posting Komentar