Pertanyaan :
Assalamualaikum ustad. Afwan ustad mau tanya
apakah bid’ah ada tingkatannya? Mohon penjelasannya. Bagaimana menyikapi orang
yang berpemahaman bahwa bid’ah tidak semua sesat. Mereka mengacu pada situs
PBNU dan sumber lainnya.
Jawaban :
Waalaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh…
Pertama, yang menyatakan bid’ah sesat semua
adalah Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dalam hadits-haditsnya:
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
dan setiap bid’ah adalah sesat (H.R Abu Dawud,
anNasaai, Ibnu Majah)
Kedua, Para Sahabat Nabi yang menjadi rujukan
kita dalam memahami hadits-hadits Nabi juga mempertegas pernyataan bahwa semua
bid’ah adalah sesat. Berikut beberapa pernyataan para Sahabat tersebut:
Ibnu Mas’ud –semoga Allah meridlainya-
berkata:
اتبَّعِوُا وَلاَ تَبْتَدِعُوا فَقَدْ
كُفِيْتُمْ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Ikutilah (Sunnah Nabi) janganlah melakukan
bid’ah, karena sesungguhnya kalian telah dicukupi, dan seluruh bid’ah adalah
sesat (diriwayatkan oleh Abu Khoytsam dalam Kitabul Ilm dan Muhammad bin Nashr
alMarwazy dalam as-Sunnah)
Ibnu Umar –semoga Allah meridlainya- berkata:
كلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا
النَّاسُ حَسَنَةً
Semua bid’ah adalah sesat sekalipun manusia
memandangnya baik (diriwayatkan oleh alBaihaqy dalam al-Madkhal dan Muhammad
bin Nashr alMarwazy dalam as-Sunnah)
Muadz bin Jabal –semoga Allah meridlainya-
berkata:
فَإِياَّكُمْ وَمَا يُبْتَدَعُ فَإِنَّ مَا
ابْتُدِعَ ضَلَالَة
Berhati-hatilah kalian dari perkara yang
diada-adakan, karena perkara yang diada-adakan (dalam Dien) adalah sesat
(Hilyatul Awliyaa’ (1/233)).
Ucapan-ucapan para Sahabat Nabi di atas jelas
sekali menunjukkan bahwa semua bid’ah adalah sesat.
Berikut ini adalah ucapan-ucapan lain dari
para Sahabat Nabi tentang perintah menjauhi kebid’ahan dan amal ibadah yang
tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan para Sahabatnya:
Hudzaifah bin al-Yaman –semoga Allah
meridlainya- berkata:
كُلُّ عِبَادَةٍ لَمْ يَتَعَبَّدْ بِهَا
أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فلاَ تَتَعَبَّدُوْا بِهَا ؛ فَإِنَّ
الأَوَّلَ لَمْ يَدَعْ لِلآخِرِ مَقَالاً ؛ فَاتَّقُوا اللهَ يَا مَعْشَرَ
القُرَّاءِ ، خُذُوْا طَرِيْقَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
“Setiap
ibadah yang tidak pernah diamalkan oleh para Sahabat Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam, janganlah kalian beribadah dengannya. Karena generasi pertama
tak menyisakan komentar bagi yang belakangan. Maka bertakwalah kalian kepada
Allah wahai para pembaca al-Qur’an (orang-orang alim dan yang suka beribadah)
dan ikutilah jalan orang-orang sebelummu” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah
dalam Al Ibanah).
Ibnu Abbas –semoga Allah
meridlainya-berkata:Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah dan istiqomah,
ikutilah (Sunnah Nabi) jangan berbuat kebid’ahan (diriwayatkan oleh
ad-Daarimi).
Ibnu Mas’ud –semoga Allah meridhainya- berkata:
الْإِقْتِصَادُ فِي السُّنَّةِ أَحْسَنُ مِنَ
الْاِجْتِهَادِ فِي الْبِدْعَةِ
Sederhana di dalam Sunnah lebih baik
dibandingkan bersungguh-sungguh di dalam bid’ah (riwayat al-Hakim)
Ketiga,
Kalaupun ada pernyataan yang mengesankan bahwa bid’ah itu ada yang tidak sesat
dari para Ulama’, maka itu adalah definisi secara bahasa.
Pembagian definisi bid’ah secara syariat dan
secara bahasa ini dijelaskan oleh al-Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’i dalam
tafsirnya. Beliau menyatakan:
والبدعة على قسمين: تارة تكون بدعة شرعية،
كقوله: فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة. وتارة تكون بدعة لغوية، كقول أمير
المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه عن جمعه إياهم على صلاة التراويح واستمرارهم:
نعْمَتِ البدعةُ هذه
Bid’ah itu terbagi dua. Kadangkala berupa
bid’ah syar’iyyah, seperti sabda Nabi: “Sesungguhnya setiap hal-hal yang baru
adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”. Kadangkala bid’ah secara
bahasa. Seperti ucapan Amirul Mukminin Umar bin al-Khotthob radhiyallahu anhu
tentang menggabungkan manusia dalam sholat tarawih dan dilakukan terus menerus,
beliau menyatakan: sebaik-baik bid’ah adalah ini (Tafsir Ibnu Katsir (1/398)
ketika menafsirkan surat alBaqoroh ayat 117)
Penafsiran makna ucapan Umar bin al-Khottob
bahwa itu adalah penyebutan bid’ah secara bahasa sudah ada sejak masa Ibnu
Katsir –seorang Ulama bermadzhab Syafii- penulis tafsir al-Qur’an al-Adzhim
tersebut. Bukan seperti ejekan musuh Sunnah yang menganggap bahwa itu
diada-adakan oleh Wahabi.
Keempat: Seorang muslim harus mengetahui apa
definisi bid’ah menurut penjelasan Ulama Ahlussunnah agar ia memahami apa
bid’ah itu, jangan sampai ia mengira bahwa sesuatu itu bid’ah padahal bukan,
atau sesuatu itu dianggap bukan bid’ah padahal itu bid’ah. Kalau sesuatu itu
adalah bid’ah secara istilah/ syar’i maka pasti semuanya sesat.
Definisi Bid’ah
Definisi bid’ah secara bahasa artinya adalah
sesuatu yang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya. Dalam alQur’an ada
penyebutan lafadz bid’ah secara bahasa tersebut, di antaranya:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
Allahlah yang mengadakan langit dan bumi
(tanpa contoh sebelumnya)(Q.S alBaqoroh:117).
Bid’ah secara syariat dijelaskan oleh al-Imam
asySyathiby sebagai:
طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ
تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا اْلمبَالَغَة فِي
التَّعَبُّدِ للهِ سُبْحَانَهُ
Jalan dalam beragama yang diada-adakan, yang
menandingi syariat, tujuan menempuh jalan itu adalah berlebihan dalam ta’abbud
(beribadah) kepada Allah (al-I’tishom (1/11)).
Berdasarkan penjelasan al-Imam asy-Syathiby di
atas nampak jelas beberapa karakteristik sesuatu hal dikatakan sebagai bid’ah :
1.Telah menjadi sebuah ‘jalan’.
Bukan sesuatu hal yang sekedar ‘pernah’
dilakukan, tapi berulang-ulang dan menjadi kebiasaan, sehingga menjadi ‘jalan’.
2.Dalam urusan Dien (bukan duniawi).
Dalam urusan duniawi dipersilakan berinovasi
seluas-luasnya selama tidak ada larangan dari alQur’an maupun Sunnah Rasul
shollallaahu ‘alaihi wasallam.
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
Kalian lebih tahu tentang urusan duniawi
kalian (H.R Muslim)
Karena itu tidaklah disebut bid’ah berbagai
piranti kemajuan teknologi seperti mobil, hp, internet, dan sebagainya.
3.Diada-adakan, tidak ada dalilnya.
Tidak ada dalil shahih yang menjadi
landasannya. Jika ada dalil, bisa berupa hadits lemah atau hadits palsu, atau
ayat yang ditafsirkan tidak pada tempatnya.
4.Menandingi syariat
Tidaklah seseorang melakukan sesuatu bid’ah
kecuali Sunnah yang semisalnya akan mati.
Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
مَا أَحْدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلَّا رُفِعَ
مِثْلُهَا مِنَ السُّنَّةِ
Tidaklah suatu kaum melakukan suatu bid’ah,
kecuali akan terangkat Sunnah yang semisal dengannya (H.R Ahmad dari Ghudhaif
bin al-Haarits, dan Ibnu Hajar menyatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (baik)
dalam Fathul Baari (13/253))
Contoh: bacaan-bacaan setelah selesai sholat
fardlu banyak disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih. Namun, ada seseorang
yang karena merasa mendapatkan ijazah bacaan dari gurunya (meski tidak ada
dalilnya dari hadits Nabi), selalu mengulang-ulang bacaan yang diajarkan
tersebut setelah selesai sholat. Misalkan, membaca Laa Ilaaha Illallaah 333
kali, disertai keyakinan keutamaan-keutamaannya (memperlancar rezeki,
kewibawaan, dsb). Akibatnya, ia akan tersibukkan dengan amalan dari gurunya
tersebut dan meninggalkan Sunnah Nabi yang sebenarnya.
Tidaklah disebut sebagai bid’ah, jika hal itu
tidak menandingi syariat, namun justru sebagai sarana yang mendukungnya. Hal –
hal ini disebut oleh para Ulama’ sebagai al-mashalihul mursalah seperti
pembukuan al-Quran, penyusunan ilmu nahwu, pembangunan madrasah, dan
semisalnya.
5.Niat melakukannya adalah sebagaimana orang
berniat dalam melakukan syariat (untuk mendekatkan diri kepada Allah).
(Penjelasan ini disarikan dari Syaikh Sholih
bin Abdil Aziz Aalusy Syaikh dalam Syarh Arbain anNawawiyyah).
Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memberikan
hidayahNya kepada segenap kaum muslimin.
Wallaahu A’lam.
penulis :
Al-ustadz Abu Utsman Kharisman
0 komentar
Posting Komentar