Fatwa Asy Syaikh Muhammad Ali
Firkous Al Jazairy - hafizhahullah
Tanya:
Saya telah meminjam sejumlah uang dari bank –
karena terpaksa – untuk membeli rumah yang dapat menaungi saya beserta
keluarga, dan sekarang – alhamdulillah – saya telah mengetahui hukum syar’i,
dan saya ingin bertaubat, maka apa kiranya yang bisa saya lakukan? Sebagai
catatan saya belum menyelesaikan pengembalian pinjaman tersebut secara
sempurna. Jazakumullah khairan.
Jawab:
Hukum asal dalam dari pinjaman ribawi adalah
haram dan batal (akadnya- pent), berdasarkan firman Allah – ta’ala:
﴿يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا
إِنْ كُنتُم مُؤْمِنِينَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ
وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ
وَلاَ تُظْلَمُونَ﴾ [البقرة: ٢٧٨ ـ ٢٧٩]
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya
dan tidak (pula) dianiaya.” [Al Baqarah: 278 – 279].
Sebagaimana pada asalnya tidak boleh bagi
seorang muslim untuk tidak mengetahui hal yang sangat penting dari
permasalahan-permasalahan agama ataupun duniawi, dikarenakan wajibnya menuntut
ilmu syar’i berdasarkan sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam:
«طَلَبُ
العِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ»(١)،
“menuntut ilmu sesuatu yang wajib bagi setiap
muslim”(1)
Dan tidak boleh bagi seseorang untuk tidak
mengetahui sesuatu yang secara otomatis telah dimaklumi merupakan bagian dari
agama (معلومم من الدين بالضرورة)atau
sesuatu yang telah masyhur (bahwa ia termasuk bagian dari agama – pent), oleh
karenanya para ulama qawa’id meletakkan suatu kaidah yang kandungannya sebagai
berikut:
«لاَ
يُقْبَلُ فِي دَارِ الإِسْلَامِ عُذْرُ الجَهْلِ بِالحُكْمِ الشَّرْعِيِّ»؛
Tidaklah diterima uzur ketidak-tahuan
terhadap hukum syar’i di negara Islam
Maka ketika tidak ada kekuasaan syar’i dalam
mengatur hukum-hukum yang berhubungan dengan akad-akad, dari segi pembatalan
akad dan mengembalikan kedua pihak yang menjalankan akad sebagaimana keadaan
seperti sebelum terjadinya akad, dan dikarenakan tindakan riba yang
dilakukannya – yang merupakan pelanggaran terhadap hukum Allah subhanahu wa ta’ala – tidak dapat dikembalikan
sebagaimana sebelum terjadinya akad, ketika tidak dapat terjadi semua hal
tersebut maka akad disahkan karena darurat, bukan karena diakui dalam agama,
dan dia menyempurnakan pengembalian sejumlah yang diwajibkan bank atasnya tanpa
berbuat aniaya.
Adapun (alasan) menjadikan pinjaman sebagai
jalan keluar dari keadaan darurat, maka harus diperhatikan bahwa keadaan
darurat (secara syari’at-pent) yaitu: seseorang sampai kepada tingkatan yang
hampir dia binasa padanya atau mendekati kebinasaan, maknanya apabila dia
mengerjakan suatu maksiat (untuk menghidari kebinasaan - pent), maka itu lebih
ringan daripada meninggalkannya (karena dia akan terhindar dari
kebinasaan-pent). Dan dalam permasalahan seperti ini maka untuk mengetahuinya
(apakah telah sampai kepada derajat darurat atau belum – pent) dikembalikan
kepada agama seseorang dalam penentuan kadarnya dan seberapa besar permasalahan
tersebut.
Maka apabila hakikat yang disebutkan oleh
penanya bahwa dia berada dalam keadaan darurat yang memaksa, hampir-hampir dia
binasa dalam hal agamanya, hartanya atau harga dirinya, maka hal itu boleh
dilakukan (yaitu meminjam uang dari bank – pent) akan tetapi hanya sekadarnya.
Oleh karena itu ulama meletakkan suatu kaidah
yang kandungannya:
«إِذَا ضَاقَ
الأَمْرُ اتَّسَعَ، وَإِذَا اتَّسَعَ ضَاقَ»
“apabila keadaan sulit maka dilapangkan, dan
apabila keadaan lapang /mudah maka diperketat”
Dan juga kaidah lain:
«الضَّرُورَاتُ
تُبِيحُ المَحْظُورَاتِ وَلَكِنْ تُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا»
“Keadaan-keadaan darurat dapat menjadikan
halal perkara-perkara terlarang akan tetapi hanya sekadarnya”.(1)
Kemudian ketahuilah bahwa suatu taubat
haruslah berupa taubat yang murni dan tulus (taubat nasuha), yaitu dengan
meninggalkan kemaksiatan tersebut dan seluruh kemaksiatan yang lainnya, dia
bertekad kuat untuk tidak kembali melakukannya, dan mengiringi taubat tersebut
dengan amal solih, berdasarkan firman Allah – subhanahu wa ta’ala:
﴿إِلَّا
مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللهُ
سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا﴾ [الفرقان: ٧٠]
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman
dan mengerjakan amal saleh, maka mereka itulah orang yang Allah ganti
kejelek”an yang mereka lakukan dengan kebaikan. dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” [Al Furqan: 70]
Dan barangsiapa yang jujur dalam bertaubat
dari kemaksiatan maka akan Allah berikan petunjuk baginya kepada hal-hal yang
mendatangkan kemenangan dan keselamatan di dunia dan akhirat, Allah – ta’ala –
berfirman:
﴿وَتُوبُوا
إِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَا المُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴾ [النور:
٣١].
“dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah
wahai oreng-orang yang beriman agar kalian beruntung”
والعلم
عند الله، وآخِرُ دعوانا أنِ الحمدُ لله ربِّ العالمين، وصلَّى الله على محمَّدٍ
وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، وسلَّم تسليمًا.
Al Jazair: 29 Jumadal Ula 1426 H
Bertepatan dengan 6 Juli 2005 M
__________________________________
(1) HR Ibnu
Majah di dalam “Al Muqaddimah” bab “Keutamaan Ulama dan Hasungan untuk Menuntut
Ilmu” (224) dari hadits Anas I dishohihkan
Al Albani dalam “Shohihul Jami’” (3914).
(2) Dan dalam
perkara ini hendaknya masing-masing mengkonsultasikan keadaannya kepada ahlul
ilmi dan asatidzah untuk mengetahui apakah keadaanya secara syar’i telah dikategorikan
sebagai keadaan darurat ataukah belum (pent).
Alih bahasa: Al-Ustadz Abu Ahmad Purwokerto
0 komentar
Posting Komentar